Dewan Sengketa Indonesia Hadir di Aceh, Ini Harapan Pj Gubernur
Font: Ukuran: - +
Pj Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh, M Jafar menyampaikan sambutannya pada Sidang Terbuka Penandatanganan Pakta Integritas, Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan Profesi Mediator/ Ajudikator Konsiliator/ Arbiter, di wilayah Aceh, Senin (28/11/2022) di Banda Aceh. [Foto: Humas Aceh]
DIALEKSIS.COM | Aceh - Pj Gubernur Aceh yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh, M Jafar, mengharapkan kehadiran Dewan Sengketa Indonesia (DSI) mampu membantu dalam menyelesaikan sengketa secara bermartabat dan berkeadilan, untuk menghindarkan gejolak sosial kemasyarakatan maupun pertikaian di tengah-tengah pemerintahan maupun masyarakat.
Hal itu disampaikan M Jafar dalam sambutannya pada Sidang Terbuka Penandatanganan Pakta Integritas, Pengambilan Sumpah/Janji dan Pelantikan Profesi Mediator/ Ajudikator Konsiliator/ Arbiter, di wilayah Aceh, Senin (28/11/2022) di Banda Aceh.
M Jafar menerangkan, DSI adalah lembaga perkumpulan yang bertujuan memberikan layanan alternatif penyelesaian sengketa tanpa harus sampai ke ranah hukum atau pengadilan, melalui instrument kelembagaan DSI maupun dengan menggunakan kompetensi atau keahlian individu masing-masing mediator ajudikator/konsiliator/ arbiter yang terdaftar di DSI.
“Mediator non-hakim yang disiapkan dan terdaftar di DSI, punya kemampuan mumpuni. Mereka mempunyai kompetensi dan bersertifikat dari Mahkamah Agung dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP),” katanya.
Lembaga DSI terbentuk sejak 2020 lalu. Kendati masih berusia muda, DSI selama ini telah menunjukkan andilnya dalam 45 layanan penyelesaian sengketa di tanah air, yang mencakup terkait sengketa properti, konstruksi, tanah, perindustrian, hingga perceraian.
“Apa yang dicita-citakan DSI dalam penyelesaian sengketa patut didukung oleh semua pihak, sebagai semangat darisila ke-empat Pancasila; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” sebutnya.
Menurut Jafar, sistem kerja DSI sangat sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, yaitu mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan berbagai sengketa. Di mana kondisi itu masih terus berlangsung hingga sekarang di gampong-gampong dengan sistem Peradilan Adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Bahkan Aceh mempunya Majelis Adat Aceh (MAA) yang berfungsi untuk membina keberlangsungan hukum adat istiadat.
“MAA dan DSI telah menandatangani perjanjian kerja sama, dengan harapan adanya sinergitas untuk mensosialisasikan alternatif penyelesaian sengketa dan penguatan pelaksanaannya melalui pendidikan oleh pelaksana Peradilan Adat Aceh, pada Maret 2022 lalu di Semarang, Jawa Tengah,” ungkapnya.
Karenanya Pemerintah Aceh berharap, DSI harus mampu menyiapkan atau melahirkan mediator/ajudikator/konsiliator/arbiter di Aceh dengan berbagai pengetahuan tentang kearifan lokal, adat istiadat, dan syariat Islam yang berlaku di Serambi Mekkah. [HA]