Dana Rp 160 Miliar untuk Perlindungan Satwa, YEL Aceh Wujudkan Kawasan Ekosistem Gambut
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar. [Foto: IST]
DIALEKSIS. COM | Banda Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyorot kinerja lembaga konsorsium Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) mengelola anggaran Rp 160 miliar untuk perlindungan satwa di Aceh.
Pasalnya, kasus konflik satwa dan kematian satwa terus terjadi, padahal anggaran yang dihabiskan tidak sedikit.
Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) salah satu penerima anggaran program TFCA-Sumatera mendapat dana sebesar Rp 6,5 Miliar pada periode 2012-2017.
Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar mengatakan pengelolaan anggaran TFCA-Sumatera tidak hanya untuk satu kegiatan namun banyak aktivitas yang dilakukan dalam menyelamatkan hutan-hutan yang masih tersisa di Sumatera.
"Konteks lingkungan tidak hanya satwa liar, banyak hal bisa dilakukan. TFCA Sumatera itu setau saya dia membantu banyak Konsorsium kelompok NGO yang salah satunya meluncur ke Aceh," jelasnya kepada Dialeksis.com, Kamis (11/11/2021).
Kata dia, selama YEL mengelola dana itu digunakan untuk pengelolaan upaya advokasi kawasan ekosistem gambut di Rawa Tripa Kabupaten Nagan Raya dan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya.
"Alhamdulillah itu sudah berhasil, kita jalankan dari 2012 dan saat ini sudah jadi kawasan lindung gambut. Juga sudah masuk ke data ruang wilayah Aceh, saat ini YEL sedang membantu untuk menyusun rencana perlindungan dan pengelolaannya," jelasnya.
Zulfikar menjelaskan, Yel sendiri tidak khusus dalam penyelamatan satwa liar jika dengan TFCA Sumatera. Namun, YEL juga ikut bekerjasama dengan beberapa lembaga perlindungan satwa liar terutama orangutan, seperti dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Perlu digarisbawahi di TFCA-Sumatera tidak murni di satwa liar. Berbicara satwa liar banyak hal yang harus dilihat," tegasnya lagi.
Selama ini, kata dia, kegiatan pembangunan di Aceh dengan dana yang banyak juga belum mampu untuk melindungi lingkungan, seperti keberadaan dana Otsus hari ini yang masih ada di Aceh itu yang triliunan. Hal itu sampai sekarang tidak terlalu masif juga itu bisa terlindungi karena masih banyak faktor yang belum efektif.
"Misalnya persoalan konservasi satwa itu kan masih ditangani pusat, terutama oleh Kementerian LHK melalui Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE)," sebutnya.
Lanjutnya, aktivitas di lapangan lintas sektor juga kadang-kadang satwa liar walaupun menjadi tanggung jawab Kementerian terkait, tetapi ada di wilayah kawasan yang dikuasai oleh seperti Pemerintah Aceh.
Untuk itu, ia mempertanyakan terkait mekanisme koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Di sisi lain, banyak kawasan hutan di Aceh yang beralih fungsi dari hutan ke perkebunan, seharusnya wilayah tersebut menjadi koridor satwa kemudian berubah.
"Jika ada yang mengatakan dana sebesar Rp 160 miliar belum bisa lindungi satwa, menurut saya itu juga masih terburu buru kita bicara seperti ini, jika dengan 160 miliar menjangkau seluruh kawasan hutan Aceh yang sangat luas itu belum cukup," ungkapnya lagi.
Kemudian persoalan Deforestasi atau penggundulan hutan di Aceh dalam beberapa tahun belakangan mulai sedikit turun. Menurutnya wilayah-wilayah yang menjadi konflik satwa liar dengan manusia juga disebabkan akibat terjadi aktivitas pembangunan seperti pembangunan jalan, energi Pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Selama ini, kata dia, banyak institusi yang mencoba membantu penyelesaian proses itu, jika TFCA-Sumatera membantu Aceh, seharusnya semua pihak mendukung, karena banyak dana dari Pemda tetapi sangat kecil untuk diperuntukkan untuk kegiatan lingkungan dan kehutanan.
"Pemerintah harus sering-sering mengajak semua pihak, ada pendanaan dari luar ini harusnya menjadi percepatan bagi upaya-upaya perlindungan dan hutan di Aceh," harapnya.
Di Aceh anggaran program TFCA-Sumatera dikelola oleh konsorsium yakni Konsorsium Orangutan Information Center, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Konsorsium Jantho Lestari, Konsorsium Suar Galang Keadilan, CRU Aceh, Forum Konservasi Leuse (FKL), Yayasan Leuser International (YLI), Yayasan Orangutan Sumatra Lestari (YOSL), North Sumatra Rhino Consorsium, dan Veterinary Society For Sumatra Wildlife (Vesswic).