Senin, 10 Maret 2025
Beranda / Berita / Aceh / Bandar Narkoba Aceh Dapat Vonis Mati Kedua, Murthalamuddin Beberkan Jaringan di Bumi Syariat

Bandar Narkoba Aceh Dapat Vonis Mati Kedua, Murthalamuddin Beberkan Jaringan di Bumi Syariat

Sabtu, 08 Maret 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Praktisi pendidikan Murthalamuddin. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi, Aceh Timur, menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati kepada tiga terdakwa kasus penyelundupan 185,5 kilogram sabu melalui perairan Malaysia-Indonesia. Putusan dibacakan Kamis (6/3/2025) oleh ketua majelis hakim Asra Saputra, didampingi hakim anggota Zaki Anwar dan Reza Bastira Siregar. Ketiganya, Sayed Fackrul (42), Muzakir (38), dan Ilyas Amren (35), terbukti menerima dan mendistribusikan narkotika kelas I tersebut.

Uniknya, Sayed Fackrul bukan terdakwa biasa. Pria asal Aceh Utara ini sedang menanti eksekusi mati di Lapas Kelas IIA Lambaro, Banda Aceh, usai putusan kasasi Mahkamah Agung (No. 4059 K/Pid.Sus/2023) pada September 2023. Vonis baru ini menambah catatan panjang keterlibatannya dalam sindikat narkoba transnasional.

Merespons kasus ini, praktisi pendidikan Murthalamuddin menyoroti kegelisahan publik untuk mengulas lebih dalam. "Ini cermin krisis multidimensi di Aceh. Banyak penjara di sini dipenuhi napi narkoba. Bahkan dalam kasus nasional, pelaku asal Aceh kerap jadi aktor utama. Mengapa nekat?" ujarnya kepada Dialeksis saat dikonfirmasi, Sabtu (8/3).

Menurutnya, akar masalahnya terletak pada minimnya lapangan kerja dan rendahnya keterampilan generasi muda. Sektor pertanian yang tak menjanjikan kesejahteraan, ditambah jejak konflik berkepanjangan, mendorong sebagian orang mengambil jalan pintas.

"Kemiskinan dan tekanan hidup membuat mereka berpikir pendek. Mental ‘nekad’ itu warisan trauma masa lalu," paparnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Murthalamuddin, adalah budaya permisif terhadap narkoba. "Dana politik dan kegiatan keagamaan di Aceh diduga disokong oleh bandar narkoba. Munculnya orang kaya baru (OKB) di gampong-gampong, yang diduga bermain di bisnis haram, justru diterima masyarakat. Ini bahaya sistemik!" tegasnya.

Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal, justru menjadi jalur utama peredaran narkoba. Fakta ini memantik pertanyaan: bagaimana mungkin daerah yang menegakkan hukum Islam hidup dalam bayang-bayang narkoba?

Murthalamuddin menegaskan, penanganannya tak bisa sekadar mengandalkan penegakan hukum. "Harus ada gerakan kolektif seluruh elemen masyarakat. Hukum di sini masih sering ‘cincai-cincai’, ada ruang untuk tebang pilih," ujarnya.

Ia mengingatkan, Brunei Darussalam negara tetangga yang juga berlandaskan syariat”berhasil menekan angka narkoba dengan ketegasan hukum dan pemberdayaan ekonomi. "Aceh perlu belajar dari sana. Jangan sampai syariat hanya jadi simbol, sementara narkoba merusak generasi," tandasnya.

Jika tak segera diatasi, Murthalamuddin memprediksi Aceh akan menuju kehancuran sistemik. "Narkoba sudah merasuk ke politik, agama, dan budaya. Ini darurat! Gerakan antinarkoba harus dimulai dari keluarga, sekolah, hingga elite politik. Jangan biarkan bumi Serambi Mekah menjadi sarang kejahatan transnasional," serunya.

Sementara itu kata Murthalamuddin, penguatan ekonomi kerakyatan dan peningkatan keterampilan pemuda disebutkan sebagai solusi jangka panjang. Tanpa itu, Aceh hanya akan terus menjadi ladang subur bagi sindikat narkoba yang memanfaatkan keputusasaan warganya.

Peringatan Murthalamuddin menegaskan, maraknya kasus narkoba di Aceh dengan menjatuhkan hukuman mati takkan cukup membabat akar kejahatan transnasional ini. Aceh membutuhkan lebih dari sekadar penjara atau eksekusi; ia memerlukan revolusi moral, ekonomi, dan politik yang menyentuh jantung persoalan.

“Seperti Brunei yang berhasil memadukan ketegasan hukum dengan pemberdayaan manusia, Aceh pun harus berani merajut ulang tatanan sosialnya mengubah "mental nekat" menjadi semangat kolektif untuk bangkit,” ujarnya.

“Selama ada kesadaran bahwa narkoba adalah musabab kehancuran, maka kunci kerjassama kolaboratif dan koordinasi memberantas dan menekan, serta memastikan kesadaran moral masyarakat maka masih bisa diselamatkan Aceh dan negerasi penerusnya. Sebab, keadilan sejati bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga tentang membangun dunia di mana tak ada lagi yang merasa terpaksa untuk bersalah,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers