Ayu Ningsih: Aceh Kini, Darurat Kekerasan Seksual dan Tingginya Pernikahan Dini
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizki
Wakil Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih saat menjadi narasumber di Aceh TV. [Foto: tangkapan layar kanal Youtube Aceh TV/Auliana Rizki/Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan, hukum tindak pidana anak sebagai pelaku punya aturan sendiri.
Hal itu disampaikan Ayu Ningsih dalam diskusi "Aceh Darurat Kekerasan Seksual", sebagaimana dilansir Dialeksis.com, Rabu (16/2/2022) dari kanal Youtube Aceh TV.
Ia mengatakan, tupoksi dari KPPAA diantaranya melakukan pemgawasan terhadap penyelenggaraan dan pemenuhan perlindungan anak yang ada di Aceh. Jadi KPPAA adalah komisi yang independen.
"Maksudnya, independen dalam artian bebas bersuara dan tugas KPPAA melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak," ujar Ayu.
Berbicara soal perlindungan anak di semua sektor, bukan hanya KPPAA saja, namun di dinas lainnya yang terkait.
"Anggaran banyak kita lihat namun pengawasan yang dilakukan belum cukup maksimal," ucapnya.
Bagaimana penggunaan anggaran, apakah sudah tepat sasaran? Ini menjadi pertanyaan besar.
"Sebenarnya banyak sekali yang dilakukan Pemerintah Daerah dan Aceh, dengan hal ini harus benar-benar komitmen dalam menjalankan tugasnya masing-masing sehingga pemenuhan anak ini dilakukan secara maksimal," terang Ayu.
Banyak faktor terjadinya kekerasan seksual dan hari ini Aceh sudah dilabel dengan darurat kekerasan seksual. Salah satunya penggunaan gadget, bisa jadi orang tuanya lupa dalam mengawasi hal tersebut, maka sangat banyak dampak negatif yang terjadi.
Kemudian, pergaulan sekarang juga sangat bebas sehingga anak-anak menyimpang pada pergaulan yang salah, angka pernikahan dini juga mencapai ribuan.
"Dibutuhkan pengawasan anak dari orang tua, ini sebenarnya paling penting, sekarang banyak pernikahan dini yang capai ribuan dan ini sangat memprihatinkan," tambahnya.
Kekerasan seksual banyak terjadi di tempat yang sepi, memang tidak ada orangnya. Maka dari itu, banyak terjadi intimidasi, ancaman, atau iming-iming sesuatu. Yang namanya anak sangat mudah ditakutkan.
"Pendidikan seksual sejak dini sangat penting dilakukan. Misalnya ajari anak supaya tidak mengizinkan orang lain menyentuh bagian tubuhnya, pertumbuhan anak sangat penting untuk dipantau," sebutnya lagi.
Dalam hukum anak dikategorikan menjadi tiga yaitu korban, tindak pidana, dan pelaku. Hukum anak sebagai pelaku itu berbeda dengan aturan orang dewasa.
Ada Undang-Undang Sistem Pidana Anak Nomor 11 tahun 2012 di mana anak yang berusia di bawah 18 tahun melakukan satu tindak pidana ada aturan diversi. Maksudnya, pengalihan perkara formal dikembalikan ke nonformal tujuannya untuk menyelamatkan masa depan anak dan stigma yang akan melekat nantinya bahwa ia merupakan mantan narapidana.
Sebenarnya ada konsep diversi sebagai pelaku, anak yang di bawah 12 tahun bisa dikembalikan ke orang tua namun yang 14 tahun ke atas tidak bisa diberikan aturan diversi kembali apalagi pernah terjerat kasus hukum sebelumnya.
"Inilah kita, lemah sekali dalam pengawasan. Begitu juga dengan korban, begitu sudah selesai langsung dikembalikan ke orang tua, apa kabar hukum yang akan melindungi anak yang menjadi korban," sebutnya.
"Kita memang lemahnya di pemantauan, sehingga saat kasusnya sudah naik tingkat provinsi, namun terpaksa tereliminasi," tutupnya. [AU]