Aryos Nivada : DPRA Tolak LKPJ APBA 2020 Citra Pemerintah Aceh Akan Semakin Memburuk
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM |Banda Aceh - Mayoritas Fraksi dalam Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyatakan tidak dapat menerima Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2020 yang disampaikan Pemerintah Aceh.
Partai politik menolak meliputi; Partai Aceh, Gerindra, Golkar, PPP, PNA Gerindra. Penolakan dilakukan karena Banggar DPRA menilai banyak program dan kegiatan yang tidak tepat sasaran, dan tidak sesuai dengan peraturan.
Merespon hal itu, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada menilai terkait penolakan DPRA terhadap LKPJ Gubernur Aceh meski tidak memiliki konsekuensi hukum bagi eksekutif, namun jelas terdapat efek sosial politik terhadap iklim sosial politik di Aceh.
Dari sisi politik menurut Aryos, relasi eksekutif dan mayoritas partai di legislatif akan semakin memburuk paska agenda penolakan LKPJ. Tidak sampai disitu saja, manuver manuver dewan akan semakin kencang.
“Meski dampak hukum sangat minimal namun efek penolakan ini memiliki dampak secara sosial politik sangat besar sekali bagi Nova Iriansyah. Terutama ketika LKPJ Gubernur Aceh ditolak secara tegas oleh mayoritas fraksi yang memiliki suara signifikan di DPRA,” sebut Aryos, kepada media, Sabtu (21/8/2021).
Menurut Aryos, secara politik tentunya ini akan menjadi ruang bagi partai untuk semakin menekan nova. Disini menunjukan relasi legislatif dan eksekutif akan semakin memburuk kedepannya. Tidak menutup kemungkinan ekses dari penolakannya ini akan berbuntut pada penggunaan hak angket kembali.
“Juga akan timbul gerakan manuver menghantam eksekutif dengan berbagai cara yang akan dilakukan DPRA. Ruang ruang ini pasti akan terbuka lebar kedepan dilihat pada langgam politik saat ini.” Jelas Aryos kepada media, Sabtu (21/8/2021).
Sedangkan dari sisi sosial, trust atau kepercayaan masyarakat kepada pemerintah Aceh dibawah rezim kepemimpinan Nova Iriansyah akan semakin merosot. Namun disaat bersamaan, akan timbul efek positif bagi parpol yang menolak LKPJ Gubenur secara kelembagaan partainya. Sementara itu sebaliknya, citra parpol yang menerima LKPJ dianggap tidak pro rakyat yang berdampak pada penurunan suara pemilu akan datang.
“Dari perpektif sosial, partai menolak LKPJ Gubernur akan dinilai memahami kegelisahan masyarakat Aceh saat ini terkait kinerja pemerintah Aceh. Masyarakat beranggapan pastinya DPRA menolak LKPJ karena berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan,” sebut Aryos.
“Seperti laporan BPK, maupun evaluasi di lapangan. Partai partai ini dinilai mengedepankan prinsip prinsip bekerja yang baik dan benar. Sedangkan bagi partai yang menerima LKPJ jelas akan mempengaruhi imej partai yang berbuntut pada kepercayaan atau trust masyarakat kepada partai. Tidak tertutup kemungkinan berdampak pada penurunan suara ketika momen pemilu mendatang,” ujar Peneliti Senior Jaringan Survei Inisiatif (JSI) ini.
52 anggota dewan menolak, sementara 29 anggota lainya menerima. Rincianya; Fraksi yang menolak PA (21 kursi), Gerindra 8 kursi, Golkar 9 kursi, PNA 6 kursi, PPP 8 kursi. Sementara partai yang menerima, PAN 6 kursi, PKB/PDA 7 kursi, namun yang menerima hanya 5, sementara Wahyu A Wahab dan Nektu menolak, selanjutnya partai yang menerima PKS 6 kursi dan Demokrat 10 kursi.
Sementara dari sisi hukum Aryos menjelaskan, sejak pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan DPRD terkait dengan pertanggungjawaban Gubernur sebagai kepala derah dalam melaksanakan APBD sebagian telah diamputasi.
Perubahan dari Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) menjadi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Derah (LKPJ) memberikan konsekuensi bahwa DPRD sudah tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberhentikan Kepala Daerah dengan alasan LKPJnya ditolak.
Hal ini dikuatkan oleh Penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf K UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Disebutkan : Laporan keterangan pertanggungjawaban merupakan laporan kemajuan pelaksanan pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan gubernur.
Menurut Aryos, politik hukum pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No. 23 Tahun 2014 lebih menegaskan konsep pertanggungjawaban Kepala Daerah melalui Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah Pusat, LKPJ kepada DPRD, dan Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat secara langsung.
Di mana, dari ketika laporan pertanggungajwaban yang tersebut terkait evaluasi sangat didominasi Pemerintah Pusat yang dapat melakukan pembinaan, sedangkan LKPJ kepada DPRD bentuk evaluasinya hanya rekomendasi dan catatan yang bersifat saran.
Adapun LPPD wajib disampaikan kepada pemerintah pusat (pasal 27 ayat 2 UU 32/2004). Gubernur menyampaikan LPPD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (pasal 27 ayat 3 UU 32/2004). Mengenai sanksi kepatuhan kepala daerah terhad LPPD ditetapkan oleh Presiden yang dikeluarkan oleh menteri untuk daerah provinsi sebagaimana diatur dalam PP No. 12/2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
“Jadi apapun yang dihasilkan dan ditemukan oleh Pansus LKPJ, DPRA sebenarnya tidak bisa menolak LKPJ Gubernur. Namun hanya sebatas membuat rekomendasi. Dalam UU 23 tahun 2014, cukup jelas bahwa LKPJ yang disampaikan kepala daerah bersifat laporan. Sehingga telah merubah tatacara laporan kepala daerah dalam memberikan pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada DPRD,” ungkap Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala ini.