DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Diskursus seputar makanan halal di Aceh kembali mendapat sorotan setelah Pimpinan Pondok Pesantren Babul Magfirah Cot Keueng, Aceh Besar, Ustaz H. Masrul Aidi, Lc., mengunggah refleksi kritis di akun Instagram pribadinya masrul__id.
Ia menekankan bahwa halal dalam pangan bukan hanya sebatas pada bahan baku, melainkan juga menyangkut akad atau transaksi, serta aspek kebersihan dalam penyajian.
“Salah satu faktor halal pangan selain sumbernya adalah akad atau transaksi. Mengonsumsi makanan yang sudah dibeli tentu beda nikmatnya dibandingkan dengan mengonsumsi makanan yang belum dibeli,” ujar Ustaz Masrul Aidi dilansir media dialeksis.com, Rabu (3/9/2025).
Ia menyinggung fenomena yang kerap terjadi di warung makan, di mana sebagian orang terbiasa mencicipi atau bahkan langsung makan terlebih dahulu sebelum melakukan pembayaran.
Dari sisi fiqih, ia mengakui ada banyak perbedaan pandangan. Namun menurutnya, kesepakatan lebih baik diutamakan ketimbang mencari-cari dalil pembenaran.
“Sekalipun dari sisi kajian fiqh ada banyak dalil dan dalih untuk pembenaran makan dulu baru bayar, bukankah kesepakatan lebih selamat daripada pertentangan?” tegasnya.
Dalam tulisannya, tokoh agama muda Aceh tersebut juga mengkritisi alasan sebagian orang yang merasa repot bila harus membayar terlebih dahulu sebelum makan.
“Kalau dengan alasan terlalu merepotkan bila bayar dulu baru makan, kenapa alasan yang sama tidak berlaku pada restoran siap saji seumpama pizza dan kfc?” katanya menyindir kebiasaan masyarakat yang cenderung lunak di warung biasa, tapi patuh pada aturan di restoran modern.
Lebih jauh, ia melontarkan perumpamaan tajam soal kondisi kudapan yang tersaji di warung pada pagi hari. “Melihat kudapan yang tersaji di warung pada jam 10 pagi, rasanya seperti memilih calon istri di kawasan lokalisasi. Sekalipun masih tersegel rapi, tetap tidak aman dari banyaknya bekas sidik jari,” tulisnya dengan gaya satir.
Tak hanya soal akad dan kebiasaan makan, Ustaz Masrul Aidi juga menyoroti aspek higienitas pangan. Menurutnya, sudah ada inisiatif dari sebagian pedagang untuk menutup dagangan dengan plastik transparan agar lebih higienis. Namun, langkah ini justru melahirkan persoalan baru, yakni meningkatnya sampah plastik di masyarakat.
“Yang punya usaha sudah berinisiatif menutup dagangannya dengan jilbab transparan, tapi muncul masalah lain terkait sampah plastik,” ujarnya.
Dengan nada sinis, ia menyinggung realitas sosial yang kerap kontradiktif dengan semangat syariat di Aceh. “Entah karena di negeri syariah ini sedang menjalankan sebuah prinsip, bahwa makanan yang paling berkah adalah yang paling banyak tangan menyentuhnya,” tulisnya.
Ustaz Masrul Aidi menyebut seharusnya para ulama dan tokoh adat dapat menyuarakan saran kepada pemerintah daerah, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), terkait standar higienitas pangan di warung-warung tradisional. Namun, ia menyadari kritik semacam itu berpotensi menimbulkan reaksi keras.
“Seharusnya MPU dapat menyuarakan saran ini kepada pemerintah daerah CQ Disperindag. Tapi ya sudahlah. MPU tidak boleh diganggu, karena mereka adalah lembaga sakral. Akan ada banyak buzzer mukhlisin yang siap membully siapapun yang mengusik,” pungkasnya. [nh]