Ahli Akuntansi Ungkap Penyebab Kesalahan Laporan Keuangan Pemerintah Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Ahli akuntansi nasional, Dr. Syukriy Abdullah, SE, MSi [Foto: dok pribadi]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan (LK) yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih kerap kali ditemukan berbagai permasalahan.
Maka wajib bagi pejabat menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan, agar rekomendasi tersebut tidak lagi menjadi temuan pada tahun berikutnya.
Pada pemeriksaan Laporan Keuangan Pemprov Aceh tahun 2022, BPK menemukan beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah, ada 3 permasalahan utama yang harus segera ditindaklanjuti.
Pertama, Pemerintah Aceh belum memutakhirkan regulasi pendapatan pajak air permukaan, yang mengakibatkan Pemerintah Aceh belum dapat merealisasikan penerimaan pajak air permukaan secara optimal.
Kedua, klasifikasi penganggaran dan realisasi belanja pada tujuh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Aceh tidak tepat, sehingga mengakibatkan realisasi belanja pada tujuh SKPD Aceh tersebut tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
Ketiga, kekurangan volume atas 18 paket kegiatan belanja modal. Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas kekurangan volume pekerjaan sebesar 12,55 miliar.
Menanggapi hal itu, Ahli akuntansi nasional, Dr. Syukriy Abdullah, SE, MSi mengatakan permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah yang terjadi berulang kali setiap tahun disebabkan beberapa faktor.
Pertama, kata Syukriy, karena kesalahan tersebut tidak bisa diperbaiki lagi disebabkan kepala daerah bersangkutan sudah pensiun, atau memang sudah tidak ada cara penyelesaiannya kecuali BPK memaafkan.
"Karena ada dan tidaknya temuan tergantung pada auditor BPK, auditor bisa saja membuat tidak ada temuan sama sekali. Temuan itu terjadi ketika ada perbedaan angka yang diatur dengan angka yang dikerjakan berbeda," jelasnya kepada Dialeksis.com, Selasa (30/5/2023).
Kedua, lanjutnya, ada masalah perbedaan penggunaan aturan dalam mengelola keuangan, pemerintah daerah meyakini aturan seperti Pergub. Sedangkan BPK menggunakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), jadi ketika beda aturan yang diikuti maka angkanya yang dibuat juga berbeda.
Ketiga, kata dia, memang terjadi kesalahan di pihak orang yang diaudit, mereka salah menyajikan informasi, artinya yang ditulis dengan yang akan direalisasikan berbeda.
"Tetapi ada kemungkinan juga, ada kesalahan interpretasi dari auditor walaupun jarang sekali terjadi," ucapnya.
Lebih lanjut, kata Syukriy, ketika sudah menjadi temuan atau dimasukan ke dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), lalu pejabat tersebut tidak memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK, maka auditor menyimpulkan itu laporan/temuan tersebut valid atau sah.
Untuk itu, Syukriy menyarankan, agar pemerintah daerah mengikuti rekomendasi BPK supaya tidak lagi menjadi temuan pada tahun berikutnya. (nor)