Beranda / Berita / Aceh / Advokat Muda Aceh; Qanun LKS Antara Realitas dan Fanatisme

Advokat Muda Aceh; Qanun LKS Antara Realitas dan Fanatisme

Selasa, 28 Februari 2023 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Advokat Muda Aceh, Reza Hendra Putra, SH [Foto: for Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Advokat Muda Aceh, Reza Hendra Putra, SH mengulas pandangannya dengan rinci terkait keberadaan Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh dalam 4 babak.

Pertama, menurutnya, menarik ketika melihat syariat Islam formalis dipersoalkan oleh orang Aceh itu sendiri, padahal diketahui bahwa masyarakat Aceh dikenal erat dan lekat dengan nilai-nilai Islam. 

Namun, Qanun LKS sebagai manifestasi nilai-nilai Islam dikritik, diperdebatkan bahkan ditolak oleh sebagian orang, alasannya karena tidak ada pasal yang secara eksplisit mengharamkan operasional bank konvensional di Aceh. Pemerintah Aceh salah telah mengusir bank konvensional dari Aceh (Abuse of Power). 

Perdebatan ini, kata Reza, menghiasi ruang publik di Aceh selama berbulan-bulan pertarungan antara Ulee balang (sebutan untuk kelompok bisnis, teknokrat, politisi dan kelas menengah) dan agamawan begitu sengit walaupun pada akhirnya kelompok agamawan keluar sebagai pemenang. 

Soalnya, Qanun LKS dikritik dan ditolak sebagai perwujudan konsep muamalah atau justru dipersoalkan karena Qanun LKS gagal mengejawantahkan nilai-nilai Islam itu sendiri.

"Saya berpandangan bahwa sesungguhnya Qanun adalah produk manusia ia lahir melalui lembaga yang disebut Legislatif, dia pantas diuji kebenarannya, kemanfaatannya, bukankah Allah SWT menyuruh dan menantang untuk membuktikan kesalahan Al-Quran dalam banyak ayat Qs. An-Nisa:82, Qs. Al-Baqarah:23 dan banyak ayat lainnya,” sebut advokat muda ini dalam paper ilmiah nya yang dipublikasi oleh Attorney Insight Paper Vol 1, Senin (27/2/2023).

“Ini adalah upaya dalam menjawab segala keraguan yang ada terhadap-Nya dan Al-Quran sebagai pedoman yang benar bagi manusia, maka tidak salah ketika ada yang menantang dan mengkritik qanun, kebablasan jika ada yang mengatakan qanun tersebut sebagai interpretasi dari maksud tuhan," jelasnya 

Kedua, kata Mantan Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry ini, dirinya sempat tergelitik melihat salah satu rekan sejawat dengan penuh percaya diri membela qanun ini dengan mati-matian, terpukau melihat aksi jihadnya.

"Semoga kita semua masuk surga, namun iman dan rasional harus sejalan," ucapnya.  

Ketiga, Penggiat Ekonomi Syariah ini, menceritakan bagaimana Implementasi Qanun ini dimulai dari wajibnya perubahan bank konvensional ke bank syariah, masyarakat kebingungan dengan pemindahan buku bank, transaksi keuangan, pengusaha mengeluh akan kesulitan bisnisnya, dan sikap pemerintah pada tahun 2020 melalui upaya surat gubernur (belum ditanda tangan) yang memperpanjang masa hadirnya bank konvensional itu mengonfirmasi inkonsistensi terhadap keberadaan Qanun yang sudah ia bentuk dan gagas.

"Lihat salah satu dampak, Pemerintah Aceh wajib menjamin memfasilitasi transaksi keuangan para Wisatawan di Aceh, yang maaf, belum tentu dari Aceh dan belum tentu dia paham tentang perubahan jenis bank di Aceh," ungkapnya. 

Menurutnya, pemberlakuan Qanun LKS tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan kelompok mayoritas saja, karena sebagai produk hukum ada banyak subjek hukum dan kepentingan hukum lain yang harus diperhatikan.

Di samping itu, kata Reza, adanya riba adalah suatu kesalahan dan memang pantas diharamkan sejarah membuktikan bagaimana ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai riba dapat menghancurkan suatu sistem ekonomi Amerika pernah jatuh akibat riba.

1998 terjadi krisis moneter karena riba, Islam mengharamkan riba bukan hanya soal manifestasi nilai ketuhanan, namun itu berakibat terhadap makhluk itu sendiri sesungguhnya riba adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai humanisme, terjadi diskriminasi dan berakibat pada kerusakan sistem pasar.

Reza menjelaskan, sistem syariah untuk menjadi antitesis dari pada riba, ia lahir untuk menjawab ketidakmampuan ekonomi yang bersandar pada konsep liberal dan kapitalisme yang gagal memberikan kesejahteraan terhadap seluruh umat manusia, tanpa ada diskriminasi. 

Reza mengutip pendapat Pandangan Muhammad Sharif Chaudhry seorang hakim profesional di Pakistan dan pemuja Muhammad Iqbal salah satu tokoh besar Islam dan pendiri negara Pakistan. Dalam tulisannya Fundamental of Islamic Economic System, yang diterjemahkan oleh Suherman Rosyidi, Sistem Ekonomi Islam, Tentang Kelemahan Sistem Ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme.

Dia berpendapat bahwa Kapitalisme didefinisikan juga sebagai sistem ekonomi yang dikuasai dan diwarnai oleh peranan modal (kapital) yang didasarkan pada tiga gagasan utama; kepemilikan individu; persaingan usaha (ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar); dan rasionalitas; baik rasio instrumental (teknologi untuk industrialisasi), rasio hukum, maupun ilmiah).

"Qanun LKS secara konsep belum masuk dalam perdebatan substansi pilihan pilar sistem ekonomi dunia. Qanun ini hanya fokus pada Lembaga keuangan bagian kecil dalam struktur ekonomi. Tujuannya agar tidak terjadi proses penzaliman pada kelompok dan kelas masyarakat tertentu manusia, pemberlakuannya sebagai solusi bagi kehidupan umat, bukankah demikian seharusnya lantas mengapa kondisi Aceh masih seperti ini?," tanyanya.

Kemudian yang terakhir, Qanun LKS ini terkendala secara yuridis, pada tataran praktis terjadi disharmoni dengan peraturan Bank Indonesia dalam pengaturan pembiayaan bank kepada UMKM, tanyakan saja kepada bank aturan mana yang mereka patuhi atau mereka jadikan guideline. Tentu hukum yang baik adalah hukum yang bisa dijalankan dan tidak bertentangan dengan aturan diatasnya. 

"Oh iya saya lupa bahwa ekonomi Aceh seperti ini bukan hanya karena bank konvensional menjadi syariah, dulunya tanpa bank syariah ekonomi Aceh juga seperti sekarang, mungkin manusianya yang tidak memiliki nilai syariah itu sendiri, atau karena pemerintah RI yang selalu menipu Aceh, atau justru karena Pimpinan Aceh yang tidak menjadikan “hikayat Prang sabi” sebagai ilham baginya," imbuhnya. 

Sambungnya, jawaban itu sangat sulit untuk ditemukan. Namun orang Aceh tetap bahagia dan tenteram hidupnya, sekilas demikian kelihatannya, mungkin karena pengaruh Islam yang begitu dekat atau karena kopi yang begitu setia menemaninya. 

Sejauh ini, kata dia, penerapan syariat di Aceh selalu kontras dengan output yang merupakan substansi tujuan Islam itu sendiri, selamat datang di provinsi termiskin, dan daerah korup, selamat datang di daerah di mana pelaku korup masih bisa menjadi tokoh publik (Lihat Data BPS tahun 2022).

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda