Beranda / Berita / Aceh / ABA Desak Penghapusan Praktik Penahanan Ijazah, Tidak Efektif dan Merugikan Tenaga Kerja

ABA Desak Penghapusan Praktik Penahanan Ijazah, Tidak Efektif dan Merugikan Tenaga Kerja

Sabtu, 24 Agustus 2024 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Aliansi Buruh Aceh (ABA), Drs. Syaiful Mar. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Praktik penahanan ijazah oleh perusahaan terhadap karyawan terus menuai kontroversi di kalangan pekerja dan masyarakat. 

Ketua Aliansi Buruh Aceh (ABA), Drs. Syaiful Mar, menyuarakan kritik keras terhadap praktik ini, menegaskan bahwa penahanan ijazah tidak hanya merugikan pekerja tetapi juga tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam wawancara eksklusif, Drs. Syaiful Mar menyoroti bahwa meskipun banyak perusahaan melakukan penahanan ijazah sebagai bagian dari proses rekrutmen, tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur praktik tersebut. 

"Dalam proses rekrutmen tenaga kerja, biasanya perusahaan meminta berbagai dokumen administratif seperti identitas diri dan ijazah untuk memastikan kelayakan calon pekerja. Namun, penahanan ijazah asli tanpa adanya aturan yang jelas sangat merugikan tenaga kerja dan tidak dibenarkan oleh hukum," kata Syaiful Mar kepada Dialeksis.com, Sabtu (24/8/2024).

Syaiful Mar menjelaskan bahwa dalam aturan perundangan, tidak ada kewajiban bagi tenaga kerja untuk meninggalkan dokumen asli seperti ijazah sebagai syarat untuk diterima bekerja. 

"Fotokopi atau salinan yang telah dilegalisir seharusnya sudah cukup. Jika perusahaan meminta untuk melihat dokumen asli, itu hanya untuk verifikasi, bukan untuk ditahan," tambahnya.

Penahanan ijazah, menurut Syaiful Mar, menimbulkan risiko yang besar bagi pekerja.

"Jika ijazah atau dokumen asli lainnya hilang, terbakar, atau rusak saat berada dalam penguasaan perusahaan, belum tentu perusahaan tersebut dapat bertanggung jawab atas kerugian yang dialami pekerja," ujarnya. 

Praktik ini, katanya, tidak hanya menciptakan ketidaknyamanan bagi pekerja tetapi juga melanggar nilai-nilai keadilan.

Syaiful Mar juga menekankan bahwa kontrak kerja yang disepakati antara perusahaan dan pekerja seharusnya sudah cukup sebagai dasar hubungan kerja.

 "Surat perjanjian kerja atau kontrak kerja adalah instrumen hukum yang mengikat kedua belah pihak. Jika salah satu pihak merasa dirugikan, ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa," jelasnya.

Dalam diskusi yang berkembang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Direktur Jenderal HAM, Dhahana Putra, telah menyatakan perlunya regulasi khusus yang mengatur tentang praktik penahanan ijazah.

 Dhahana menegaskan bahwa penahanan ijazah berpotensi membatasi hak pekerja untuk mengembangkan diri dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Namun, Syaiful Mar menggarisbawahi bahwa regulasi baru tersebut harus didasari oleh kajian mendalam yang mempertimbangkan dampak kebijakan ini baik bagi pekerja maupun perusahaan. 

"Kami meyakini perlunya kajian yang komprehensif mengenai dampak kebijakan perusahaan melakukan penahanan ijazah tidak hanya bagi karyawan tetapi juga perusahaan, sebelum merumuskan regulasi yang tepat," ungkapnya.

Meski penahanan ijazah kian jarang ditemukan, menurut Syaiful Mar, minimnya pelaporan kasus-kasus ini bisa jadi karena pekerja tidak mengetahui hak-haknya atau takut melaporkan perusahaan. 

"Kami meminta pemerintah untuk lebih aktif mengingatkan perusahaan agar tidak mengulangi praktik semacam ini yang jelas merugikan tenaga kerja," ujarnya.

Di sisi lain, Syaiful Mar juga menyoroti tren baru dalam rekrutmen tenaga kerja yang lebih menitikberatkan pada sertifikasi keahlian dan keterampilan dibandingkan dengan penahanan ijazah. 

"Di beberapa tempat, yang diminta adalah sertifikasi keahlian yang kemudian diuji melalui masa percobaan atau kontrak kerja. Ini adalah pendekatan yang lebih adil dan profesional," jelasnya.

Syaiful Mar menegaskan bahwa praktik penahanan ijazah oleh perusahaan harus dihentikan.

"Negara kita adalah negara hukum. Jika ada perbuatan yang merugikan salah satu pihak, itu bisa dilaporkan dan diproses sesuai aturan yang ada. Kami mendesak perusahaan untuk menghentikan praktik penahanan ijazah dan meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk melindungi hak-hak tenaga kerja," pungkasnya.[nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda