kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / 16 Tahun Perdamaian Aceh, Keberadaan BRA Perlu Dievaluasi

16 Tahun Perdamaian Aceh, Keberadaan BRA Perlu Dievaluasi

Jum`at, 06 Agustus 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Farnanda M.A. [Foto: Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keberadaan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) selama 16 tahun di Aceh dinilai tidak memberikan suatu dampak signifikan terutama terhadap pemenuhan dan penyelesaian hak-hak korban konflik.

Tolak ukur dalam menjalankan kelembagaan tidak berpijak kepada perencanaan yang tepat sasaran, tepat manfaaat dan tepat guna. Sehingga terkesan keberadaan BRA sebatas menghabiskan uang APBA semata. 

Hal lain yang sangat miris bahwa keberadaan BRA disinyalir memilki muatan kepentingan pada elit dan kelompok tertentu yang membuat pendistribusian pelayanan kepada masyarakat Aceh yang terkena imbas konflik tidak merata.

Dari rilis yang didapat oleh Dialeksis.com, Jumat (06/08/2021) berdasarkan catatan JSI, terdapat sejumlah persoalan yang menggelayuti lembaga tersebut. Mulai dari ketidakharmonisan di internal lembaga, mencuatnya kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret nama seorang deputi BRA. 

Persoalan dominasi elit lokal dalam struktrur kepemimpinan BRA hingga kemunculan program diluar nalar yang memicu polemik seperti pengadaan handuk senilai Rp 1,2 miliar mantan kombatan dan korban konflik. 

Oleh karena itu, dalam momentum 16 tahun perdamaian Aceh yang akan berlangsung tanggal 15 agustus 2021 ini, perlu untuk disikapi serius keberadaan atau eksistensi BRA sebagai lembaga penguatan perdamaian Aceh.

“keberadaan BRA harus dievaluasi secara komprehensif yang melibatkan pihak eksternal yang independen guna melihat hasil secara kelembagaan 16 tahun kelembagaan BRA di Aceh. Sehingga hasil dari evaluasi itu nantinya akan dijadikan dasar kebijakan untuk dijadikan keputusan kepada stakeholder. Apakah BRA harus berlanjut keberadaannya atau dibubarkan sebagai lembaga mengurus korban konflik,” tukas peneliti Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Farnanda.

Selanjutnya, Farnanda menjelaskan, tujuan didirikan BRA adalah dalam rangka reintegrasi terhadap mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tahanan politik yang memperoleh amnesti, serta masyarakat yang terkena dampak konflik demi Penguatan perdamaian. 

"Secara legalitas kelembagaan, kedudukan BRA tidak dijelaskan secara detail dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)," tukasnya.

Kemudian, Ia menjelaskan lagi, pembentukan BRA berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, dimana disebutkan Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. 

"Kemudian mengenai tupoksi kelembagaan diatur dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 2 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Reintegrasi Aceh dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Reintegrasi Aceh," jelas Farnanda lebih lanjut.

Sementara itu diketahui lebih lanjut, peran dan tupoksi BRA selama ini dinilai tumpang tindih dengan keberadaan SKPA lain yang juga berwenang menyelenggarakan fungsi BRA, seperti pemberdayaan dan pengembangan ekonomi, pemberdayaan dan bantuan sosial serta penyediaan lahan pertanian, kelautan dan perikanan serta lapangan pekerjaan.

“Bila kita lihat dari tupoksi kelembagaan. Wewenang BRA tumpang tindih dengan kelembagaan lain. keberadaan BRA bisa dijalankan fungsinya oleh SKPA seperti dinas sosial, baitul mall dan lain lain. Harusnya idealnya BRA bukan menjadi lembaga eksekusi program. Namun lembaga yang mengontrol dan mengawasi program program yang dijalankan oleh dinas dinas terkait dalam penanganan hak hak korban konflik,” ujarnya.

Selain itu dirinya mengatakan lebih lanjut, bila berkaca dari transformasi konflik dari kekerasan ke jalan damai di berbagai negara lain keberhasilan proses reintegrasi sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh sebuah lembaga koordinasi semacam BRA. Salah satu faktor penting lain yang turut menentukan keberhasilan proses reintegrasi adalah adanya keterlibatan dan dukungan dari stakeholder di semua level tak terkecuali di tingkat lokal terhadap proses tersebut.

“Harusnya ada konsep namanya harmonisasi dan sinergisasi lintas kelembagaan pemerintah. Ketika dia membutuhkan pelayanan kesehatan ada dinas kesehatan. Ketika membutuhkan layanan pertanian ada dinas pertanian,” tukas Farnanda.

Farnanda mengakhiri, perlu adanya evaluasi secara mendalam terhadap eksistensi BRA sebagai lembaga pemenuhan hak korban konflik. Terlebih program yang sudah dijalankan selama ini dinilai terjadi tumpang tindih dengan tupoksi SKPA serta sistem penyaluran bantuan kurang transparan dan aspiratif. (*)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda