kip lhok
Beranda / Aceh Hebat / Pemerintah dan Ulama Aceh Dukung Fatwa MPU

Pemerintah dan Ulama Aceh Dukung Fatwa MPU

Jum`at, 11 Oktober 2019 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Amrizal J. Prang Kepala Biro Hukum.

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh mendukung sepenuhnya fatwa Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) Aceh dan menyayangkan adanya permohonan judicial review terhadap Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah ke Mahkamah Agung. 

Pemerintah Aceh menilai pemohon tidak melihat kekhususan dan keistimewaan Aceh, baik dari perspektif konstitisi maupun azas hukum yang berlaku dalam konteks Desintralisasi asimetris.

"Qanun itu seharusnya menjadi penegasan atas keistimewaan yang dimiliki oleh Aceh. Plt Gubernur bahkan meminta agar kekhususan dan keistimewaan Aceh ini diperkuat, bukan sebaliknya," kata Kepala Biro Hukum, Amrizal J. Prang, didampingi Karo Humpro, Muhammad Iswanto, Jumat (11/10/2019).

Amrizal mengatakan, secara materil, keberadaan MPU sebagaimana Pasal 3 ayat (2) UU No. 44 tahun 1999 merupakan salah satu lembaga istimewa Aceh, yang juga dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, terhadap pengakuan daerah khusus atau istimewa. 

Selanjutnya, Pasal 139 UUPA, menyatakan, MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi, yang diatur dengan Qanun Aceh.

Dasar itulah yang kemudian melahirkan Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 tentang MPU. Sebagaimana, Pasal 1 angaka 21 Qanun MPU, disebutkan: Fatwa adalah keputusan MPU yang berhubungan dengan syariat Islam terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan.

Kemudian, Pasal 14 ayat (10) Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, menyatakan: MPU Aceh berkewajiban mengawasi peribadatan yang menyimpang dari aturan syariah yang berpotensi menimbulkan keresahan dan konflik dalam masyarakat.

Demikian juga, yang diatur dalam Pasal 9 Qanun No. 8 Tahun 2015 tersebut. Berdasarkan, landasan yuridis materil tersebut, maka secara yuridis formil MPU berwenang mengeluarkan fatwa tersebut.

"Jadi keliru kalau para pemohon mempertentangkan Qanun Aceh No. 8 Tahun 2015 dengan UU PNPS Tahun 1965 juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan UU No. 12 tahun 2011. Bagaimanapun, pengakuan kekhususan atau keistimewaan sudah diatur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, UU No. 44 Tahun 1999 dan UUPA," kata Amrizal.

Hal itu, lanjut Amrizal, sebagaimana asas hukum lex specialist derogate legi generalist (peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum). 

"Bahkan, dalam konteks kewenangan khusus ini kalau diabaikan dan tidak bisa dilaksanakan oleh MPU, maka bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, terhadap kepastian hukum," kata dia.

Sebelumnya, empat mahasiswa Aceh yang menyatakan diri sebagai Jamaah Ahussunnah Salafi, mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Agung dengan Noreg. 73/PR/IX/73 P/ HUM/2019, terhadap Qanun Aceh No. 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah (Qanun No. 8 Tahun 2015).

Adapun yang dimohon untuk diuji adalah Pasal 9 Qanun No. 8 Tahun 2015, yang berbunyi:

(1) MPU Aceh berwenang menetapkan fatwa mengenai Aqidah atau aliran yang diduga sesat.

(2) MPU Aceh berwenang menetapkan fatwa mengenai suatu lembaga atau perorangan yang melakukan penyebaran Aqidah atau aliran yang diduga sesat.

(3) Fatwa MPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.

Menurut mereka pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pasal 1 dan Pasal 2 UU PNPS Tahun 1965 juncto Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan Pasal 6 ayat (1) serta Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan alasan tersebut, para pemohon meminta agar Pasal 9 Qanun Aceh No. 8 Tahun 2015, dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasca Judicial Review tersebut, pada 9 Oktober 2019, sebagian ulama Aceh bertemu dengan Plt. Gubernur Aceh untuk membicarakan tindak lanjut penyelesaiannya. Menurut Plt. Gubernur, Nova Iriansyah, bahwa Pemerintah Aceh mendukung substansi yang ada dalam Pasal 9 Qanun No. 8 Tahun 2015 tersebut yang merupakan bagian keistimewaan Aceh.

"Pemerintah Aceh selama dalam konteks kekhususan peran ulama dan syariat Islam, maka pemerintah Aceh bersama ulama mendukung penguatan kewenangan fatwa tersebut," kata Amrizal mewakili pernyataan pemerintah Aceh. (rls)

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda