kip lhok
Beranda / Tajuk / Pemimpin Pendendam dan Ambisi Kontrol Kekuasan!!

Pemimpin Pendendam dan Ambisi Kontrol Kekuasan!!

Jum`at, 10 Mei 2024 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Pemimpin Pendendam dan Ambisi Kontrol Kekuasan. Foto: Pexels


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Kita semua pernah mengalami rasa dendam dalam hidup, mungkin terhadap seseorang yang menyakiti atau memperlakukan kita dengan tidak adil. Namun, bagi seorang pemimpin, membiarkan dendam menguasai diri bisa sangat berbahaya. Dendam bisa membutakan pemimpin sehingga tidak dapat mengambil keputusan bijaksana untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

Sejarah memberikan banyak contoh pemimpin yang dibakar dendam hingga melakukan tindakan-tindakan sembrono dan merusak. Kisah nyata Rodrigo Duterte berawal dari dendam masa lalu, dia mengklaim bahwa ibunya telah diperkosa oleh seorang pengguna narkoba. Maka Duterte menghabisi para pengguna narkoba di Filipina. Kisah lain, Robert Mugabe (Zimbabwe) menguasai negaranya dengan tangan besi demi mempertahankan kekuasaan pribadi dan ambisinya sendiri.

Semua kisah itu bermula dari dendam seorang pemimpin. Dendam bisa mendorong pemimpin untuk menghabisi lawan-lawan politiknya dengan kejam, menindas kelompok yang tidak sejalan, atau menghabisi rezim kekuasaan pejabat sebelumnya.

Perilaku pemimpin seperti itu mengingatkan pada 'Teori Hierarki Kebutuhan' dari Abraham Maslow yang menyatakan bahwa kebutuhan akan penghormatan dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Jika tidak terpenuhi, seseorang bisa terdorong mengejar kekuasaan demi mendapatkan penghormatan dan merasa berharga.

Hannah Arendt, filsuf politik, dalam bukunya "On Violence", menganalisis bagaimana pemimpin yang dibakar dendam dan berkuasa secara otoriter dapat menciptakan lingkaran kekerasan yang terus berputar.

Selain dendam, bahaya lain yang mengintai pemimpin adalah kehausan kontrol kekuasaan yang berlebihan di semua lini dari hulu ke hilir. Kekuasaan memang bisa memberikan rasa percaya diri dan kendali. Namun, jika tidak terkendali, nafsu untuk kontrol kekuasaan ini bisa membuat pemimpin lupa pada tujuan utama mereka untuk mengabdi kepada rakyat. Pemimpin seperti ini cenderung mempertahankan kekuasaannya dengan cara otoriter, menindas suara-suara kritis, dan mengubah sistem pemerintahan.

Di era kekinian, mudah saja menjalankan skenario pengkondisian bahkan melibatkan perkauman atau kelompok tertentu untuk menjaga oligarki dan hegemoni kekuasaan. Namun, cara tersebut juga akan dilakukan oleh lawan politik dengan menjadikan pemimpin dan kelompoknya sebagai "musuh bersama". Perilaku itu akan diingat seumur hidup masyarakat dan menjadi catatan untuk tidak memberikan kesempatan memimpin terlalu lama melalui instrumen akses kekuasaan di pesta demokrasi bisa Pemilu dan Pilkada.

Siap menghadapi dan jangan cengeng ketika dihantam kembali oleh lawan politik. Dalam situasi apa pun, pemimpin sejati hendaknya bisa mengendalikan diri dari nafsu dendam dan menahan diri dari tergoda kekuasaan yang berlebihan. Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang memimpin dengan rasio dan kebijaksanaan, bukan dengan emosi dan nafsu kontrol kekuasaan yang buta.

Hanya dengan pemimpin yang arif dan murah hati, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, jauh dari kegelapan dendam dan kezaliman kekuasaan. Sebagai warga negara, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa tirani semacam itu tidak pernah terjadi lagi. Dengan cara melawan melalui gerakan dan berbuat dengan cara masing-masing sehingga melahirkan gerakan kolektif untuk terbebas dari pemimpin pendendam dan haus kontrol kekuasaan.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda