DIALEKSIS.COM | Jakarta - Koalisi Aksi Mahasiswa Nusantara (Kamnas) mengungkap dugaan praktik mark up anggaran pembiayaan bantuan hukum di lingkungan PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN Persero). Dugaan tersebut menyeret nama Direktur Legal and Human Capital (LHC) PLN, Yusuf Didi Setiarto, salah satu pejabat strategis BUMN dengan rekam jejak panjang di sektor hukum dan energi.
Kordinator Lapangan Kamnas, La Ode Armeda, menjelaskan bahwa dugaan penyimpangan anggaran itu berawal dari penempatan sejumlah tenaga legal untuk menangani perkara hukum PLN. Penempatan ini dilakukan oleh Direktorat LHC dan dikoordinir langsung melalui posisi Senior Executive Vice President (SEVP).
“Setiap legal yang menangani perkara hukum PLN dianggarkan hingga belasan miliar rupiah sesuai kontrak resmi,” ujar Armeda dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Namun, menurut Kamnas, realisasi pembayaran tidak sesuai dengan nilai kontrak. Para tenaga legal hanya menerima sekitar Rp1,5 miliar, jauh lebih rendah dari nilai kontrak yang mencapai Rp15 miliar.
“Selisih anggaran ini memunculkan dugaan kuat adanya praktik mark up dan potensi korupsi yang merugikan keuangan negara,” tegasnya.
Kamnas menilai perbedaan tajam antara kontrak dan realisasi pembayaran merupakan indikasi adanya pelanggaran serius terhadap tata kelola keuangan perusahaan milik negara tersebut.
Atas temuan itu, Kamnas berencana untuk melaporkan dugaan mark up anggaran tersebut kepada KPK, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kamnas juga telah mengirimkan surat pemberitahuan aksi ke Polda Metro Jaya dengan Nomor 113 pada 17 September 2025.
Dalam aksi tersebut, Kamnas membawa sejumlah tuntutan, pertama mendesak aparat penegak hukum segera mengusut dugaan mark up dan menindak tegas oknum yang terlibat, kedua; meminta pencopotan Yusuf Didi Setiarto dari jabatan Direktur LHC PLN, ketiga menuntut Kementerian BUMN dan BPK melakukan audit menyeluruh atas anggaran pembiayaan jasa hukum PLN, dan empat meminta PLN membuka seluruh kontrak jasa hukum kepada publik sebagai wujud transparansi.
“Dalam waktu dekat kami akan melaporkan resmi kepada penegak hukum dan melakukan aksi demonstrasi di PLN,” kata Armeda.
Hingga berita ini diterbitkan, PT PLN Persero belum memberikan tanggapan. Upaya konfirmasi melalui pesan WhatsApp tidak mendapat respons. Konfirmasi kepada Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, juga belum dijawab hingga batas waktu publikasi.
Di tengah sorotan publik, sosok Yusuf Didi Setiarto menjadi perhatian utama karena peran strategisnya di Direktorat Legal and Human Capital PLN.
Lahir di Padang pada 17 Januari 1974, Yusuf Didi menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Indonesia dan lulus pada 1999. Ia mengawali karier sebagai pengacara di Kantor Hukum Wiriadinata & Widyawan (2000 - 2003). Setelah itu, ia berkiprah di berbagai institusi strategis sektor energi dan pemerintahan.
Karier sebelum dan selama di PLN:
• Head Legal Counsel SKK Migas (2013“2015)
• Tenaga Ahli Utama Kedeputian Energi KSP (2015“2021)
• Special Advisor Wakil Menteri ESDM (2017“2019)
• CEO Advisor PT Pertamina (2019“2020)
• Direktur Manajemen SDM PT PLN (7 Desember 2021 “ SK-392/MBU/12/2021)
• Direktur Legal & Human Capital PT PLN sejak 21 September 2022 (SK-213/MBU/09/2022)
Ia dikenal sebagai ahli negosiasi kerja sama energi dengan pola gross split dan penerima sejumlah penghargaan, antara lain:
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) per 20 Maret 2024, Yusuf Didi Setiarto tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp39,5 miliar. Komposisi kekayaannya meliputi: Properti Rp24,6 miliar. Terdiri dari 13 bangunan dan 2 bidang tanah yang tersebar di Depok, Tangerang Selatan, Sukoharjo, Solo, dan Jakarta Selatan.
Aset lain; harta bergerak: Rp859.234.200, Kas/setara kas: Rp3.873.648.852, Surat berharga: Rp10 miliar, Kendaraan (total Rp145,7 juta), terdiri dari: Nissan X-Trail AT 2014 - Rp140 juta, Yamaha Revo 2005 “ Rp2,9 juta, Honda Vario 2009 “ Rp2,8 juta
Total kekayaan yang dilaporkannya mencapai Rp39.524.383.052.