Selasa, 25 November 2025
Beranda / Gaya Hidup / Prabowo dan Diplomasi Kopi: Dari Meulaboh hingga Hambalang

Prabowo dan Diplomasi Kopi: Dari Meulaboh hingga Hambalang

Selasa, 25 November 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Foto: iStock/Instagram @dahnil_anzar_simanjuntak


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pegiat literasi dan penulis buku, Murizal Hamzah, mengulas kuatnya relasi antara kopi, sejarah, dan diplomasi budaya Indonesia dalam tulisan opininya berjudul "Meneguk Kopi Racikan Prabowo", sebagaimana dilansir serambinews.com pada 24 November 2025. Tulisan itu merangkum dinamika dan gagasan yang mengemuka dalam diskusi Diplomasi Kupi dan Puisi di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ahad, 9 November 2025.

Murizal mengawali ulasannya dengan menyinggung kebiasaan Presiden Prabowo Subianto yang dikenal sebagai penikmat kopi. 

Ia mengutip sejumlah ungkapan Presiden yang kerap disampaikan dalam berbagai forum, menggambarkan kopi bukan sekadar minuman, tetapi bagian dari ritme hidup dan karakter sang kepala negara. Menurut tulisan itu, Prabowo disebut meneguk 3 - 4 cangkir kopi per hari, dengan jadwal terakhir pada pukul 18.00 WIB, dan sesekali mencelupkan kayu manis sebagai pemanis alami.

Salah satu yang menarik perhatian peserta diskusi adalah pembahasan mengenai Kopi Hambalang, kopi yang menurut penulis disukai Prabowo. Kopi jenis arabika itu disebut memiliki karakter rasa fruity dan manis alami seperti karamel. 

Pemilik The Atjeh Connection, Amir Faisal, yang turut hadir dalam diskusi menceritakan pengalamannya mencicipi kopi racikan Prabowo. 

“Rasanya sangat enak dan bikin ketagihan,” ujar Amir seperti dikutip Murizal, sembari menambahkan bahwa racikannya tetap dirahasiakan oleh Prabowo.

Selain membahas preferensi kopi Presiden, Murizal juga menautkan budaya minum kopi dengan narasi sejarah Aceh. Ia merujuk pesan ikonik Teuku Umar menjelang serangan terhadap pasukan Belanda pada 1899, menegaskan bahwa ritual minum kopi telah lama menyatu dengan identitas masyarakat Aceh serta menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa penting dalam sejarahnya.

Diskusi yang dipandu Murizal turut menghadirkan berbagai tokoh, mulai dari pelatih dan peracik kopi Gayo Wien Qertoev, seniman Gelingang Raya, pendiri Desember Kopi Gayo Fikar W. Eda, hingga perwakilan pemerintah seperti Staf Ahli Gubernur Aceh Nurzahri dan Asisten Deputi Event Daerah Kemenparekraf Reza Fahlevi. Mereka membahas bagaimana kopi dapat menjadi instrumen diplomasi budaya Indonesia di tengah kompetisi global.

Reza Fahlevi menyambut baik penyelenggaraan Desember Kopi Gayo yang telah berlangsung sejak 2016. 

Ia merekomendasikan agar agenda ini masuk dalam kalender nasional. “Kopi bukan hanya komoditas, tetapi pengalaman budaya dan daya tarik wisata. Hilirisasi kopi harus memberi nilai tambah bagi petani,” ujarnya.

Fikar W. Eda menegaskan bahwa festival Desember Kopi Gayo menjadi ruang refleksi tahunan untuk menunjukkan bahwa kopi adalah identitas sekaligus kekuatan diplomasi budaya. 

“Puncak panen kopi di Gayo terjadi pada Desember. Ini momentum bagi publik untuk datang dan merayakan budaya kopi bersama,” katanya.

Acara yang dibuka dengan lantunan puisi dan ditutup dengan musikalisasi Jejak Aksara itu menjadi ruang bertemunya seniman, peneliti, pemerintah, dan masyarakat kopi. Murizal, dalam tulisannya, menegaskan perlunya diplomasi kopi terus diperkuat agar jenama kedai kopi Indonesia mampu berkembang hingga mancanegara, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani di daerah penghasil kopi.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI