Pajak Naik, Ekonomi Tertekan: Kelas Menengah Kian Terpuruk
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi pajak naik. Foto: Topik/ Tarif PPN Naik_Konten
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kondisi ekonomi yang semakin menantang memunculkan tekanan besar bagi kelas menengah di Indonesia. Salah satu indikasinya adalah penurunan transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di sejumlah bank. Fenomena ini menjadi cerminan nyata menurunnya daya beli masyarakat, sekaligus memperkuat sinyal pergeseran kelompok kelas menengah menuju kategori rentan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah pada 2019 tercatat sebanyak 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk. Namun, angka tersebut merosot tajam pada 2024 menjadi 47,85 juta orang atau 17,13 persen. Dengan kata lain, sebanyak 9,48 juta penduduk tergelincir dari kelas menengah ke kelas rentan.
Sebaliknya, kelompok masyarakat kelas menengah rentan (aspiring middle class) dan kelompok rentan miskin justru meningkat. Pada 2024, kelas menengah rentan mencapai 137,50 juta orang (49,22 persen), naik dari 128,85 juta orang (48,20 persen) pada 2019. Sementara itu, kelompok rentan miskin melonjak menjadi 67,69 juta orang (24,23 persen), dari sebelumnya 54,97 juta orang (20,56 persen) pada 2019.
Sinyal pelemahan daya beli turut tercermin dari penurunan transaksi QRIS di beberapa bank, termasuk Bank Jatim. Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, mencatat penurunan signifikan pada transaksi QRIS Merchant dari Rp176,30 miliar pada Juni 2024 menjadi Rp127,91 miliar pada Juli, dan hanya sedikit naik menjadi Rp130,51 miliar pada Agustus.
“Dari data yang ada, penurunan transaksi QRIS terlihat cukup tajam sejak Juni hingga Agustus 2024, meskipun jika dilihat dalam periode delapan bulan, tren secara keseluruhan masih meningkat,” ujar Busrul seperti dilansir CNBC Indonesia.
Meskipun transaksi QRIS menunjukkan penurunan, Busrul menambahkan bahwa kanal transaksi lain seperti digital banking dan kartu debit Bank Jatim masih mencatat pertumbuhan.
Penurunan daya beli masyarakat juga dirasakan oleh Bank Oke Indonesia (OK Bank). Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, menyebut bahwa tabungan nasabah turun sekitar 12 persen secara tahunan (year-on-year). Penurunan tersebut disebabkan oleh prioritas pengeluaran masyarakat yang beralih ke kebutuhan dasar.
“Pola transaksi berubah, seperti penurunan pada kategori hiburan atau restoran, sementara kebutuhan pokok seperti bahan makanan meningkat,” jelas Efdinal.
Senada, Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renaldi, mengungkapkan bahwa meskipun frekuensi transaksi masih bertumbuh, nilai nominalnya menurun. Hal ini menandakan daya beli masyarakat melemah akibat inflasi.
“Nasabah yang biasanya menghabiskan Rp100 ribu untuk 10 barang, kini hanya mendapatkan 8“9 barang dengan nominal yang sama,” kata Yuddy.
Berbeda dengan tren konsumsi, kredit konsumsi seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) di Bank Central Asia (BCA) masih mencatat pertumbuhan. Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyebutkan bahwa meskipun kredit ritel menghadapi tekanan, kredit KPR dan KKB tetap naik didorong oleh suku bunga rendah.
“KPR dan KKB tumbuh bagus karena bunga murah,” ujarnya.
Fenomena ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi kelas menengah Indonesia di tengah tekanan ekonomi. Penurunan daya beli, perubahan pola konsumsi, dan migrasi kelas ekonomi menjadi isu utama yang perlu mendapat perhatian semua pihak.