DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kampanye global 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence atau 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan resmi dimulai pada 25 November dan akan berlangsung hingga 10 Desember mendatang.
Momentum tahunan ini kembali menjadi panggung refleksi dan aksi untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang masih marak terjadi, termasuk di Aceh.
Koalisi Anak Muda untuk ketahanan demokrasi (Kamu Demres) Aceh menyatakan bahwa isu kekerasan terhadap perempuan bukan sekadar angka statistik, melainkan realitas pahit yang setiap hari melemahkan martabat dan masa depan generasi.
Dalam perspektif anak muda Aceh, kampanye ini harus menjadi pemicu perubahan struktural dan gerakan sosial yang lebih kuat, bukan hanya seremoni tahunan.
Koordintaor Kamu Demres Aceh, Dwy Alfina, mengatakan pentingnya peningkatan literasi pendampingan korban dan edukasi ke sekolah dan lingkungan komunitas.
“Selama ini perempuan sering dianggap penyebab masalah, sementara pelaku kekerasan justru dilindungi. Narasi seperti ini harus dihentikan. Kita butuh keberpihakan nyata, mulai dari aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, hingga institusi pendidikan,” ungkapnya kepada media dialeksis.com sebagai salah satu peserta juga di Lampuuk, Aceh Besar.
Dwi menambahkan bahwa setiap kasus kekerasan tidak hanya memakan korban secara individu, tetapi juga memengaruhi kualitas sumber daya manusia Aceh.
“Ketika perempuan terluka, masa depan kita ikut terluka. Melindungi perempuan berarti merawat masa depan Aceh yang lebih sehat, cerdas, dan beradab,” jelasnya.
Kamudemres Aceh mendorong beberapa langkah konkret dengan penguatan jalur pelaporan yang aman dan ramah korban. Pendampingan psikologis dan hukum tanpa diskriminasi. Edukasi kesetaraan gender di sekolah, kampus, dan komunitas.
Selain itu, gerakan digital untuk melawan kekerasan online dan perundungan. Kolaborasi pemuda, pemerintah, lembaga hukum, dan civil society.
Menurutnya, perubahan terbesar akan datang ketika publik berhenti menyalahkan korban, berani membuka ruang dialog, dan memutus rantai budaya yang membiarkan kekerasan dianggap wajar.
"Kami mengajak seluruh pemuda untuk bergabung menyuarakan keadilan dan memastikan bahwa setiap perempuan di Aceh merasa aman di rumah, di jalan, di sekolah, maupun di ruang digital," ujarnya.
Anggota Kamu Demres Aceh, Kevin Leonardy, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Ia menilai masih banyak kasus yang tak terungkap karena korban takut melapor, terhalang budaya patriarki, minimnya dukungan hukum, serta stigma sosial.
“16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bukan sekadar kampanye saja. Ini adalah panggilan darurat agar negara hadir lebih tegas. Di Aceh, tidak sedikit korban yang memilih diam karena takut pada tekanan sosial dan tidak adanya jaminan keamanan hukum,” ujar Kevin.
Ia menambahkan bahwa kekerasan berbasis gender hari ini semakin kompleks, mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi, hingga kekerasan digital yang meningkat seiring penggunaan media sosial.
“Anak muda Aceh harus menjadi garda terdepan membangun kesadaran bahwa kekerasan bukan budaya, bukan ajaran agama, bukan takdir. Kita harus berani bersuara dan melawan,” tutupnya. [nh]