Beranda / Berita / Aceh / KSP dan ATR Berjanji Selesaikan 5 Konflik Lahan Di Aceh

KSP dan ATR Berjanji Selesaikan 5 Konflik Lahan Di Aceh

Kamis, 18 Oktober 2018 08:04 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - LBH Aceh bersama YLBHI menghadiri rapat koordinasi di Kantor Staff Presiden (KSP) melalui Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA). Selasa, 16 Oktober 2018 

Rapat ini menyangkut penyelesaian 5 konflik lahan perkebunan yang terjadi di beberapa kabupaten di Aceh yakni konflik lahan wilayah kelola masyarakat 4 desa (Desa Paya Rahat, Desa Teuku Tinggi, Desa Tanjung Lipat I, dan Tanjung lipat II) Kabupaten Aceh Tamiang yang berkonflik dengan PT. Rapala.

Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Chandra Darusman S, S.H., M.H menjelaskan konflik lahan wilayah perkampungan warga desa Sungai Iyu, Kabupaten Aceh Tamiang yang berkonflik dengan PT. Rapala;

Konflik lahan wilayah kelola masyarakat Krung Simpo, Kabupaten Bireuen yang berkonflik dengan PT. Syaukat Sejahtera;

Konflik lahan wilayah kelola masyarakat Babah Root Kabupaten Aceh Barat Daya yang berkonflik dengan PT. Dua Perkasa Lestari;

Konflik lahan wilayah kelola masyarakat Cot Mee, Kabupaten Nagan Raya, yang berkonflik dengan PT. Fajar Baizury & Brother.

"Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari laporan yang pernah dilaporkan langsung oleh LBH Banda Aceh bersama masyarakat Korban pada Oktober tahun lalu." kata Chandra

Pertemuan dihadiri oleh Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian ATR/BPN RI, Bupati Aceh Barat Daya bersama Wakil Ketua DPRK Aceh Barat Daya.

Ke-4 Bupati sudah diundang oleh KSP, namun hanya Bupati Aceh Barat Daya yang berani datang, sementara yang lain tidak hadir tanpa kabar.

Kehadiran perusahaan perkebunan telah sejak lama menulai konflik dengan masyarakat sejak tahun 1980-an.

Perusahaan perkebunan di masa itu datang dengan jalan kekerasan, masyarakat dipaksa melepaskan lahan dibawah rezim otoriter.

Namun kondisi Aceh yang tengah dalam situasi konflik dimasa itu membuat masyarakat tidak leluasa dalam mempertahankan hak-hak mereka atas lahan.

Setelah perdamaian Aceh, masyarakat bangkit untuk berjuang mendapatkan kembali hak-haknya. Namun sudah 6 kali presiden berganti konflik mereka tidak kunjung selesai. Jangankan mendapatkan lahan kembali, izin-izin baru diterbitkan dan izin-izin lama yang berkonflik malah diperpanjang diantaranya.

HGU PT. Rapala di Desa Paya Rahat, di Kecamatan Bendahara dan Kecamatan Srue berakhir 1973 diperpanjang pertama kali tahun 1998 , diperpanjang kedua kalinya tanggal 2014

HGU PT. Rapala di desa Sungai Iyu, Kabupaten Aceh Tamiang berakhir 1973 diperpanjang pertama kali tahun 1998 , diperpanjang kedua kalinya tanggal 2014;

HGU PT. Syaukat Sejahtera di Kecamatan Krung Simpo izin terbit tahun 2014 berakhir 2039;

HGU PT. Dua Perkasa Lestari di Kecamatan Babah Root Kabupaten Aceh Barat izin terbit 2008 beakhir 2033;

HGU PT. Fajar Baizury & Brother di desa Cot Mee, Kabupaten Nagan Raya izin berakhir tahun 2019 dan sekarang dalam proses perpanjangan izin;

4000-an orang telah menjadi korban dilima konlik ini, wilayah kelola mereka seluas 3.334 Ha tiba-tiba masuk kedalam konsesi HGU perkebunan-perkebunan sawit, padahal mereka telah tinggal dan menguasai lahan jauh sebelum penerbitan izin bahkan sebagian telah menempati wilayah sejak zaman Belanda.

Bahkan satu desa (Desa Sungai Iyu) 100% wilayahnya berada di dalam HGU PT Rapala Kabupaten Aceh Tamiang.

58 orang warga di 3 wilayah konflik (Aceh Tamiang, Biren, dan Nagan Raya) di kriminalisasi sejak tahun 2015 hingga sekarang.

34 orang diantaranya sudah dipidana dengan tuduhan-tuduhan menduduki dan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin dan 23 orang saat ini menjadi Tersangka sejak Juni 2018 di Polres Aceh Tamiang atas tuduhan-tuduhan serupa.

Dalam pertemuan di KSP, LBH Banda Aceh bersama YLBHI berharap KSP dan Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian ATR/BPN RI segera melakukan langkah konkrit untuk penyelesaian konflik dan memulihkan hak-hak masyarakat.

Karena Pemerintah Daerah sudah tidak bisa diharapkan untuk penyelesaian konflik mengingat tingginya conflict of interest. Ini terkonfirmasi dari pernyataan Akmal Ibrahim, bupati Aceh Barat Daya yang pada pertemuan intinya menyatakan tingginya kepentingan-kepentingan dan tekanan-tekanan di daerah terutama menyangkut HGU perusahaan-perusanaan perkebunan.

Ia sendiri heran, selaku buapati pada saat penerbitan HGU PT Dua Perkasa Lestari tidak dilibatkan sama-sekali dan ada kejanggalan dalam penerbitan HGU, dimana Izin lokasi berada di wilayah hukum kabupaten lain (Nagan Raya), sedangkan HGU yang diterbitkan berada di wilayah hukumnya yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya.

Dia juga berharap program reforma agrari, tidak hanya fokus pada legalisasi tanah semata, tetapi juga memeratakan peruntukan lahan, menyelesaikan konflik-konflk lahan hingga mencetak lahan baru, karena faktanya petani sudah tidak lagi mempunyai tanah.

Di akhir pertemuan Pihak KSP dan Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian ATR/BPN RI berjanji akan melakukan verifikasi lapangan (wilayah yang berkonflik) paling lambat bulan November 2018.

Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Kementerian ATR/BPN RI melalui KSP juga berjanji akan menyerahkan seluruh dokumen yang terkait dengan izin dalam upaya penyelesaian konflik tersebut. (j)


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda