Minggu, 21 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Banjir Bandang Guncang Kehidupan Seni Aceh, Budayawan Soroti Minimnya Pemulihan untuk Seniman

Banjir Bandang Guncang Kehidupan Seni Aceh, Budayawan Soroti Minimnya Pemulihan untuk Seniman

Sabtu, 20 Desember 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Budayawan dan Seniman Aceh, LK Ara. Foto: doc pribadi/Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh - Musibah banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh sejak akhir November hingga Desember 2025 tidak hanya memicu krisis kemanusiaan, tetapi juga mengguncang keberlangsungan kehidupan seni dan budaya daerah. Ratusan seniman Aceh kini berada dalam kondisi darurat setelah kehilangan alat kerja, rusaknya sanggar seni, hingga jatuhnya korban jiwa dari kalangan pelaku budaya.

Budayawan dan Seniman Aceh, LK Ara, menegaskan bahwa bencana tersebut telah menimbulkan dampak serius terhadap ekosistem kebudayaan Aceh yang selama ini dijaga oleh komunitas seni di akar rumput.

“Bencana ini bukan sekadar merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga menghantam langsung jantung kebudayaan Aceh. Seniman kehilangan alat, ruang berkarya, bahkan nyawa. Ini ancaman nyata bagi keberlanjutan warisan budaya kita,” ujar LK Ara kepada Dialeksis. 

Berdasarkan data awal Dewan Kesenian Aceh, sedikitnya 103 seniman terdampak langsung, 15 sanggar seni mengalami kerusakan, serta ratusan alat musik tradisional, termasuk rapai, rusak total akibat terjangan banjir dan longsor. Dua seniman dilaporkan meninggal dunia, meski masih dalam proses verifikasi.

LK Ara menilai kondisi ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, mengingat seniman merupakan penjaga Warisan Budaya Tak Benda yang bernilai strategis bagi identitas bangsa.

“Secara resmi kementerian memang telah menyatakan dukungan, termasuk penugasan Balai Pelestarian Kebudayaan sebagai posko pendataan serta alokasi dana untuk situs budaya. Namun, di lapangan, bantuan yang benar-benar dirasakan oleh seniman Aceh masih sangat terbatas,” katanya.

Menurutnya, penanganan yang ada sejauh ini masih menyatu dengan bantuan umum bagi korban bencana, tanpa pendekatan khusus terhadap kebutuhan seniman sebagai pelaku budaya. Bantuan logistik dan sembako dinilai belum menyentuh aspek krusial, seperti pemulihan kapasitas berkarya dan penyelamatan budaya tak benda yang terancam hilang.

“Seniman tidak cukup hanya diberi sembako. Mereka kehilangan alat, ruang, dan sumber penghidupan. Jika ini dibiarkan, maka yang hilang bukan hanya pekerjaan mereka, tetapi juga tradisi dan pengetahuan lokal Aceh,” tegas LK Ara.

Ia mengapresiasi solidaritas dari berbagai pihak di luar Kementerian Kebudayaan, termasuk dukungan Kementerian Ekonomi Kreatif melalui penggalangan dana dan konser amal “100 Musicians Heal Sumatra”. Namun, menurutnya, inisiatif komunitas tidak bisa menggantikan tanggung jawab kebijakan negara.

LK Ara juga menyoroti belum adanya kejelasan alokasi spesifik bagi seniman Aceh dari program nasional yang menganggarkan ratusan miliar rupiah untuk komunitas budaya di seluruh Indonesia.

“Pertanyaan ‘sampai di mana kepedulian pemerintah’ tidak bisa dijawab dengan angka besar di atas kertas. Ukurannya adalah apakah seniman Aceh yang kehilangan alat dan sanggar benar-benar dipulihkan,” ujarnya.

Ia mendesak adanya langkah konkret, antara lain pendanaan darurat khusus bagi seniman, program rehabilitasi sanggar dan alat kesenian, serta kunjungan dan dialog langsung Menteri Kebudayaan atau tim kementerian ke lokasi terdampak sebagai bentuk pengakuan dan dukungan moral.

“Tanpa langkah nyata, kepedulian hanya berhenti pada laporan administratif. Padahal seniman Aceh adalah penjaga identitas budaya bangsa. Jika mereka runtuh, maka warisan budaya itu ikut terancam hilang,” pungkas LK Ara.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
pema