Sindrom Mualem
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Tahun 1973 di Stockholm, Swedia ada kasus perampokan bank. Dua pelaku lalu menawan empat pegawai dan menyandera mereka enam hari.
Ada yang aneh. Sandera bukan hanya bertahan hidup, namun juga terbangun ikatan emosional dengan pelaku. Mereka bukan sebatas bersimpati. Mereka bahkan menolak bersaksi di pengadilan. Lebih dari itu mereka juga dana bantuan hukum untuk membela pelaku.
Fenomena psikologis ini oleh kriminolog dan psikiater bernama Nils Bejerot dinamakan sindrom stockholm.
Di Aceh, untuk saat ini ada fenomena yang menarik untuk diperhatikan, dan bisa jadi akan dinamai Sindrom Mualem. Bagaimana ceritanya?
Ceritanya sederhana. Paska kemenangan Mualem ada banyak orang yang menyatakan dekat dengan Mualem. Mereka ini bahkan mengaku mampu mempengaruhi Mualem, bahkan memastikan dipenuhi kepentingan mereka oleh Mualem.
Mereka ini memperlihatkan gejala sebagai orang paling berjasa memenangkan Mualem. Dan, ujungnya memposisikan sebagai tokoh kunci yang bisa menentukan posisi dan atau jabatan seseorang.
Fenomena di atas barangkali bukan fenomena psikologis sebagaimana yang terjadi pada Sindrom Stockholm. Melainkan bagian dari apa yang oleh orang sebut dengan ‘sindrom kekuasaan’.
Disebut sindrom kekuasaan karena ada fenomena menyimpang, dari cita-cita awal memperbaiki Aceh malah menjadi pemburu keuntungan dari kemenangan Mualem. Oh iya, sindrom kekuasan tidak selalu terkait Post-Power Syndrome. Tapi juga ada Pre-Power Syndrome dan In-Power Syndrome.
Fenomena ini jelas tidak sehat. Dan, berpotensi merugikan citra Mualem sebagai pemimpin yang sudah meletakkan visi misinya dalam rumusan Aceh yang Islami, maju dan berkelanjutan.
Sebagai pemimpin yang dibebani dengan banyak sekali tantangan paska berkurangnya Dana Otsus, termasuk menyeselesaikan masalah daerah tentu sangat berbahaya manakala orang yang terkena sindrom kekuasaan menjadi pengatur Mualem. Selanjutnya, kita sebut saja Sindrom Mualem, sampai ada istilah yang lebih tepat lagi.
Harus dipahami, Mualem, termasuk Dek Fadh, jelas tidak bisa diposisikan terbebani oleh andil para pemenang, sehingga Mualem mesti bertindak dan memutuskan sesuai petunjuk atau rekom orang lingkar.
Mualem dan Dek Fadh jelas sosok yang hadir dengan energi untuk memperbaiki keadaan, membawa perubahan, plus membangun peradaban agar Aceh menjadi lebih baik. Mimpi bersama mewujudkan visi misi dan programnya harus menjadi gerakan bersama karena rasa kepemilikan memajukan Aceh.
Langkah politik yang ditempuh Mualem dan Dek Fadh adalah langkah lanjutan dari apa yang sudah mereka tempuh jauh-jauh hari dengan segenap kekuatan ideologi plus lompatan keyakinan dari Aceh dari gerakan bersenjata dari Indonesia menjadi Aceh yang merdeka dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan.
Kuncinya jelas bukan mengadopsi laku kekuasaan yang dahulu pernah dibenci yaitu amok kekuasaan atau kemaruk kekuasaan. Melainkan perasaan senasib dan sevisi memajukan Aceh. Pola bersama hilangkan ego kelompok, kewilayahan, dan keluarga, tapi kedepankan sikap objektif dan professional.
Jelas sangat berat pertaruhan bagi Mualem ditengah makin menipisnya kepercayaan publik terhadap laku kekuasaan. Jadi, manakala muncul sindrom Mualem dengan segenap fenomena di atas sudah barang tentu berbahaya bagi Mualem sendiri.
Jelas, kunci utamanya ada pada Mualem. Termasuk menyadari keadaan yang sedang menjadi fenomena di atas. Dan, kepada semua yang sedang terkena gejala sindrom kekuasaan ada baiknya segera sadar dan kembali menjadikan Mualem dan Dek Fadh sebagai perekat kerja memperbaiki keadaan Aceh.
Jika fenomena ini dibiarkan ditakutkan akan terjadi polarisasi yang berpotensi menghambat keberhasilan yang akhirnya malah merugikan dan menjatuhkan Mualem akibat adanya konflik menajam antar team yang sudah berkerja memenangkan Mualem.
Dan, ketika muncul korban-korban yang gagal mendapatkan posisi atau jabatan, nama baik Mualem akan menjadi hancur. Publik akan menghukum bahwa Mualem tidak ada bedanya dengan yang sebelumnya. Dan, ketika rakyat memunculkan istilah korban haba mameh, di sinilah trust menjadi gadoh.
Tajuk ini sepenuhnya masukan konstruktif atas dasar keinginan melihat Mualem - Dek Fadh serta seluruh tim pendukung sukses membangun Aceh. Jadi, sama sekali bukan ulasan yang bermaksud merusak. Bagian kepedulian dan kecintaan terhadap Aceh serta kebanggaan terhadap sosok Mualem sebagai gubernur Aceh. Kata John Douglas “Hargai yang kontruktif, abaikan yang merusak.” [red]