DIALEKSIS.COM | Tajuk - Bencana banjir bandang dan longsor (Bencana hidrometeorologi) yang melanda Aceh kini telah memasuki fase krisis yang tidak lagi dapat ditangani dengan pendekatan konvensional. Lebih dari sepekan masa tanggap darurat berlangsung tanpa kejelasan peningkatan status, sementara eskalasi dampak justru kian meluas dan menjangkau sedikitnya 17 kabupaten/kota. Situasi ini menuntut keberanian politik serta kebijakan luar biasa dari pemerintah pusat, sejalan dengan besarnya ancaman kemanusiaan yang sedang berlangsung.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bencana ini jauh melampaui kategori peristiwa lokal. Ratusan nyawa melayang, ribuan rumah warga lenyap atau mengalami kerusakan berat, dan infrastruktur vital negara mulai dari jalan nasional, jembatan, fasilitas pendidikan, hingga layanan kesehatan mengalami kehancuran serius. Roda perekonomian terhenti, konektivitas antarwilayah terputus, dan ribuan warga masih bertahan dalam kondisi darurat tanpa kepastian arah pemulihan.
Kabupaten-kabupaten seperti Nagan Raya, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, serta sejumlah wilayah lainnya memperlihatkan satu irisan persoalan yang sama yakni masih banyak korban yang belum tersentuh bantuan secara layak dan merata. Distribusi logistik menghadapi hambatan serius, keterbatasan alat berat memperlambat proses evakuasi dan pembukaan akses, sementara tenaga medis bekerja di luar batas kemampuan dalam menjangkau wilayah-wilayah terpencil.
Belum ditetapkannya status darurat bencana nasional hingga saat ini membawa implikasi yang tidak ringan. Tanpa payung status tersebut, mobilisasi anggaran, pengerahan personel, serta dukungan lintas sektor terikat oleh prosedur administratif yang kaku. Padahal, skala dan kompleksitas bencana Aceh telah melampaui kapasitas penanganan daerah, bahkan melebihi pola respons nasional yang bersifat rutin.
Dalam konteks kemanusiaan seperti ini, keterlibatan lembaga internasional tidak boleh dipersepsikan sebagai bentuk ketergantungan, melainkan sebagai manifestasi tanggung jawab kemanusiaan global. Indonesia memiliki preseden, kerangka hukum, dan mekanisme yang sah untuk menerima bantuan internasional tanpa sedikit pun mengurangi kedaulatan negara. Ketika keselamatan rakyat dipertaruhkan, pertimbangan ideologis semestinya tunduk pada prinsip kemanusiaan universal.
Apabila pemerintah pusat masih mempertimbangkan penetapan status darurat bencana nasional, maka Presiden perlu segera mengambil langkah alternatif melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) khusus penanganan bencana Aceh. Kebijakan ini dapat menjadi jalan tengah yang konstitusional, responsif, dan efektif di tengah situasi genting.
Melalui Inpres tersebut, Presiden dapat memerintahkan percepatan penanganan darurat lintas kementerian dan lembaga, membuka akses terkontrol bagi bantuan kemanusiaan internasional, mengalokasikan anggaran khusus di luar skema reguler, serta menjamin percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Langkah ini menjadi krusial mengingat luasnya wilayah terdampak, besarnya jumlah korban jiwa, serta rusaknya fasilitas negara yang tidak mungkin menunggu proses birokrasi yang berlarut-larut.
Bencana Aceh hari ini merupakan ujian nyata atas kehadiran dan keberpihakan negara. Ketika rakyat kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan, negara tidak boleh ragu dalam mengambil keputusan besar. Penundaan berarti membiarkan penderitaan berlarut; ketegasan berarti menyelamatkan nyawa dan menjaga kepercayaan publik.
Aceh tidak sedang meminta keistimewaan, melainkan menuntut keadilan kebijakan yang proporsional dengan skala bencana yang dihadapi. Sudah saatnya pemerintah pusat bertindak tegas baik melalui penetapan bencana nasional, pembukaan akses bantuan internasional, maupun penerbitan kebijakan presiden khusus demi memastikan keselamatan, martabat, dan pemulihan rakyat Aceh.