Selasa, 08 April 2025
Beranda / Tajuk / Politik Aceh Kejam, Krisis Berkeadilan

Politik Aceh Kejam, Krisis Berkeadilan

Senin, 07 April 2025 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Aceh, yang pernah menjadi simbol perdamaian pasca MoU Helsinki 2005, kini terjebak dalam pusaran politik yang brutal. Di balik retorika pembangunan dan rekonsiliasi, para elite justru mengkhianati esensi politik sebagai sarana distribusi keadilan. Kebijakan dijalankan tanpa kesantunan, transparansi, atau empati terhadap penderitaan rakyat. Alih - alih memuliakan kearifan lokal, politik Aceh berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang mengorbankan stabilitas, kepercayaan publik, dan masa depan daerah. Keadilan pun bergeser dari prinsip menjadi komoditas yang diperdagangkan demi kepentingan segelintir orang.

Filsuf John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) menyebut bahwa keadilan harus menjadi prinsip utama dalam mengatur institusi sosial. Melalui konsep "veil of ignorance", Rawls menuntut pembuat kebijakan membayangkan diri sebagai pihak paling rentan sebelum membuat keputusan. Namun, di Aceh, prinsip ini dipelintir. Alokasi anggaran, pengelolaan sumber daya alam, hingga penanganan konflik justru lebih banyak menguntungkan elite. Sementara itu, masyarakat marginal petani, nelayan, korban konflik terus tersingkir.

Amartya Sen dalam The Idea of Justice (2009) menyoroti keadilan yang tak hanya berhenti pada prosedur, tetapi juga harus terlihat dalam hasil nyata. Di Aceh, pembangunan infrastruktur megah kerap dipaksakan, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi tetap timpang. Data BPS menyebutkan pada Maret 2024, tingkat kemiskinan di Aceh sebesar 14,23 persen. Angka ini turun dari 14,45 persen pada Maret 2023, namun masih tertinggi di Sumatera. 

Proyek - proyek menelan anggaran fantastis dari APBN dan APBA mungkin memuaskan ambisi elite, tapi hanya memperlebar jurang ketimpangan, ketika perebutan anggaran dengan membutakan hati nurani untuk kepentingan rakyat.

Aceh menjunjung nilai: "Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala" bahwa kebijaksanaan dan keadilan adalah fondasi kepemimpinan. Namun, realitas hari ini justru mencederai warisan luhur tersebut. Elite politik memanipulasi kepentingan politik dengan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.

Saddam Rassanjani, pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala, menyebut fenomena ini sebagai "politik eksploitatif". “Dulu Aceh melawan ketidakadilan pusat, kini ketidakadilan justru diproduksi elite lokal,” katanya kepada Dialeksis. Korupsi dan nepotisme pun merajalela. KPK mencatat, terdapat 21.189 pengaduan dari masyarakat dugaan korupsi sepanjang 2020 - 2024. Dalam periode tersebut 9.603 aduan yang masuk diarsipkan dan 16.821 aduan lainnya diverifikasi, termasuk kasus beberapa di Aceh.

Ketika keadilan hilang dari jantung politik, yang muncul adalah krisis legitimasi. Rakyat mulai melihat pemerintah sebagai entitas asing yang tak merepresentasikan aspirasi mereka. Pemilu 2024 Pileg dan Pilpres, Aceh meraih tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya sebanyak 86,86 persen, sedangkan tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkada Aceh tahun 2024 sebesar 77,51 Persen. 

Suara rakyat itu harusnya dijaga kepecayaannya oleh elit politik di Aceh, jangan asik mempertontonkan politik yang tidak santun menghilangkan etika berpolitik yang berujung berpotensi pada radikalisme dan konflik sosial.

Plato dalam Republic memperingatkan: “Ketidakadilan adalah penyakit terburuk dalam politik; ia meracuni jiwa masyarakat.” Di Aceh, racun itu tampak dari pembangunan yang tak merata. Anggaran triliunan dialokasikan untuk proyek tidak prioritas, sementara 19,8% anak Aceh masih mengalami stunting (Kemenkes, 2024). 

Investasi enggan masuk karena ketidakpastian tarik menarik hukum dan maraknya ketidakjelasan anomali di Aceh. Harusnya fokus mengatasi itu menjadi perioritas elit politik, bukan malahan mempertontonkan tindakan berpolitik main sikut dan jatuhkan tanpa memberikan contoh politik beretika.

Agar Aceh tak semakin terperosok, arah politik harus diluruskan. Pertama, kebijakan publik harus berlandaskan keadilan prosedural dan distributif. Suara kelompok marginal seperti diingatkan Rawls dan Seharus menjadi dasar penyusunan kebijakan. Kedua, revitalisasi kearifan lokal melalui musyawarah yang inklusif. Praktik peumeurihama (konsultasi publik) mesti dihidupkan, melibatkan perempuan, pemuda, dan korban konflik. Ketiga, penguatan pengawasan. KPK, Ombudsman, dan masyarakat sipil harus diberi ruang dan daya untuk mengawal kebijakan secara transparan.

Al-Farabi, filsuf Muslim abad ke-10, menulis: “Pemimpin sejati adalah yang menempatkan kebijaksanaan di atas kekuasaan.” Aceh membutuhkan pemimpin berani yang mampu memutus rantai politik transaksional dan mengembalikan keadilan sebagai fondasi utama.

Politik Aceh sedang sakit. Ia terjangkit virus keserakahan yang menggerogoti nilai-nilai luhur. Jika tak segera diobati, penyakit ini akan menghancurkan generasi mendatang. Seperti pepatah Aceh mengingatkan: "Mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita" kematian anak masih ada kuburnya, tapi hilangnya adat harus dicari hingga ke akar.

Sudah saatnya Aceh kembali ke jalan kebenaran: politik yang menjunjung keadilan, bukan kekuasaan. Hanya dengan cara ini, Aceh bisa bangkit sebagai contoh, bukan sekadar korban, dari peradaban yang bermartabat.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI