Rabu, 01 Oktober 2025
Beranda / Tajuk / PLN Membiarkan Aceh Hidup dalam Kegelapan

PLN Membiarkan Aceh Hidup dalam Kegelapan

Selasa, 30 September 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Ilustrasi gelap mati lampu. Foto: Dialeksis

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Sudah terlalu lama Aceh hidup dalam kegelapan. Dalam enam bulan terakhir, pemadaman listrik terjadi berulang kali, mendadak, dan tanpa pemberitahuan. Dari rumah tangga hingga rumah sakit, semua menjadi korban. 

PLN Aceh tak mampu memberikan pelayanan yang layak--padahal masyarakat membayar listrik setiap bulan, tanpa pernah absen.

Klimaks kesabaran masyarakat Aceh terjadi pada akhir September hingga memasuki Oktober 2025. Aliran listrik padam berulang kali selama berhari-hari. Anehnya, klarifikasi yang disampaikan pihak PLN Aceh hanya sebatas menyebutkan bahwa pemadaman disebabkan gangguan pada sistem interkoneksi transmisi 150 kilovolt (kV) jalur Bireuen - Arun. Gangguan ini mengakibatkan pasokan listrik di sebagian wilayah Aceh menjadi tidak stabil.

Padahal, urusan interkoneksi seharusnya dapat segera ditangani. Faktanya, hingga tajuk ini dipublikasikan, persoalan aliran listrik tersebut belum juga terselesaikan.

Seharusnya, PLN Aceh mampu menyiapkan alternatif untuk memastikan pelayanan maksimal kepada konsumennya. Bukan justru mengulang masalah serupa dari waktu ke waktu tanpa adanya solusi nyata, sebagaimana yang terus terjadi dari dulu hingga sekarang.

Dari tahun ke tahun, PLN Aceh selalu menyatakan bahwa persoalan listrik di Aceh tidak lagi bermasalah karena banyak pembangkit akan beroperasi, termasuk di luar Nagan Raya. Namun, kenyataannya janji itu hanya sebatas omong besar. Hingga kini, institusi yang mengurus hajat hidup orang banyak itu tak mampu merealisasikan ucapannya.

Pada September 2025, peristiwa serupa kembali terjadi. Gangguan jaringan transmisi melumpuhkan Aceh, membuat hampir seluruh provinsi tenggelam dalam kegelapan. Fakta ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem kelistrikan PLN Aceh lamban, tidak andal, dan gagal menjalankan fungsinya.

PLN selalu berkilah bahwa ada gangguan teknis. Namun, data resmi menyebut beban puncak Aceh 583 MW dengan cadangan daya 60 - 100 MW. Artinya, listrik tersedia, tapi tidak terdistribusi dengan baik. Surplus di atas kertas tak ada artinya bila satu gangguan bisa membuat Aceh blackout. Masalah utama bukan kekurangan daya, tapi kelemahan manajemen dan infrastruktur yang dibiarkan menua.

Akibat listrik padam, kantor-kantor pemerintahan lumpuh, pelayanan publik terhenti. UMKM terpaksa menutup usaha, kehilangan pendapatan harian. Rumah tangga hidup dalam panas, anak-anak gagal belajar di malam hari, barang elektronik rusak oleh voltase yang naik turun.

Yang paling mengkhawatirkan, persoalan lintas sektor di Aceh ikut terganggu. Bayangkan jika pelayanan rumah sakit terganggu dan berujung pada korban jiwa, terutama pasien cuci darah yang membutuhkan aliran listrik stabil untuk menjalankan mesin medis.

Belum lagi risiko kerusakan pada peralatan rumah tangga maupun mesin produksi di pabrik. Pertanyaannya, apakah PLN Aceh siap bertanggung jawab menanggung semua kerugian itu?

Ketika mesin medis berhenti, nyawa pasien hanya bergantung pada genset darurat. Apakah PLN rela mempertaruhkan keselamatan rakyat hanya karena tidak mampu mengelola jaringan dengan baik?

Regulasi jelas: pelanggan berhak mendapat kompensasi jika PLN gagal menjaga kualitas layanan. Tetapi berapa kali masyarakat Aceh menerima kompensasi? Nyaris tidak ada. PLN tegas memutus listrik pelanggan yang telat membayar, tapi ketika masyarakat menjadi korban, mereka hanya diberi permintaan maaf.

Ini ketidakadilan yang nyata. PLN Aceh menuntut hak, tapi lalai menjalankan kewajibannya. Publik berhak marah, berhak menuntut pertanggungjawaban, dan berhak menagih kompensasi.

Petugas lapangan PLN Aceh bekerja keras, tetapi masalah bukan di bawah, melainkan di pucuk manajemen. PLN Aceh harus dievaluasi secara menyeluruh. Infrastruktur transmisi perlu diperkuat dengan jalur cadangan. Sistem distribusi harus dimodernisasi dengan smart grid agar pemadaman tak lagi meluas. Transparansi informasi mesti ditegakkan: setiap pemadaman harus diumumkan jelas, bukan disembunyikan dengan alasan teknis.

Dan yang tak kalah penting, kompensasi kepada pelanggan harus berjalan otomatis, sebagaimana diatur undang-undang. Tanpa itu, PLN hanya akan terus mengulang kesalahan dan menyalahkan faktor eksternal.

Aceh tak bisa terus dicitrakan sebagai “provinsi byar-pet.” Bagaimana investasi bisa tumbuh bila listrik tak bisa diandalkan? Bagaimana masyarakat bisa maju bila malam-malam mereka gulita?

PLN tidak boleh lagi sekadar menjanjikan terang. Cukup sudah rakyat Aceh hidup dalam bayang lilin. Kini saatnya PLN bertanggung jawab: membenahi sistem, menyalakan listrik tanpa jeda, dan menghormati hak pelanggan.

Kegelapan berulang ini bukan lagi sekadar gangguan teknis--ini adalah bukti kegagalan manajemen. Jika PLN tak juga berbenah, masyarakat Aceh berhak menuntut lebih dari sekadar permintaan maaf.

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bpka - maulid