Otentisitas: Kunci Kepemimpinan Aceh di Persimpangan Pilkada
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Menjelang Pilkada Aceh 2024, provinsi ini membutuhkan sosok pemimpin yang berkarakter otentik. Otentisitas, sebuah konsep yang mungkin akrab bagi sebagian orang namun perlu dipahami lebih lanjut oleh yang lain, menjadi tolok ukur penting dalam menilai calon pemimpin.
Secara harfiah, otentisitas merujuk pada kesesuaian antara apa yang terlihat dan apa yang sesungguhnya ada. Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti keselarasan antara ucapan dan tindakan, antara janji dan realisasi. Filosof eksistensialis Jean-Paul Sartre menekankan bahwa otentisitas adalah kunci dari eksistensi manusia yang bermakna.
Masyarakat Aceh saat ini dihadapkan pada dilema ketika dipertontonkan perilaku calon pemimpin yang tidak otentik. Karakter demikian berpotensi merugikan Aceh dalam jangka panjang. Loyalitas yang hanya di permukaan, tanpa dibarengi tindakan nyata, menjadi cermin karakter seseorang yang hendak diberi mandat memimpin 5 juta jiwa selama lima tahun ke depan.
Calon pemimpin yang tidak memiliki otentisitas justru dapat menuai penilaian buruk dari masyarakat Aceh. Pengkhianatan dan ketidakloyalan menjadi catatan hitam yang sulit dihapus. Masyarakat Aceh, yang telah belajar dari sejarah, akan menggunakan hak pilihnya sebagai bentuk sanksi sosial terhadap calon pemimpin yang tidak otentik.
Perlu diwaspadai bahwa individu yang tidak otentik cenderung membangun citra palsu. Mereka mungkin berkoar-koar ingin memperjuangkan Aceh dan membawa perubahan, namun faktanya hanya menyimpan ambisi dan dendam pribadi. Teori dramaturgi Erving Goffman menjelaskan bagaimana individu berusaha mengelola kesan di hadapan orang lain, yang dalam konteks ini dapat digunakan untuk memahami perilaku calon pemimpin yang tidak otentik.
Partai politik seringkali terjebak dalam penilaian superfisial, gagal melihat karakter sesungguhnya dari calon yang mereka usung. Calon pemimpin yang tidak otentik cenderung menjadi pengkhianat, hanya nyaman di antara orang-orang yang dapat mereka kontrol. Mereka membangun citra sebagai pribadi yang kuat, namun sebenarnya hanya bersembunyi di balik topeng pertemanan semu.
Lebih buruk lagi, calon pemimpin seperti ini menjadikan masyarakat Aceh sebagai objek belaka, alat untuk memuaskan hasrat kekuasaan tanpa niat tulus untuk melayani. Namun, jangan meremehkan kecerdasan masyarakat Aceh. Mereka mampu menganalisis berbagai sumber informasi untuk menilai karakter calon pemimpin. Teori pilihan rasional dari James S. Coleman dapat menjelaskan bagaimana masyarakat Aceh akan membuat keputusan berdasarkan informasi yang mereka miliki.
Pada akhirnya, masyarakat Acehlah yang akan menentukan nasib mereka sendiri. Apakah mereka akan memilih pemimpin yang otentik, atau justru menolak yang tidak otentik dengan tidak memberikan dukungan saat Pilkada berlangsung. Pilihan ini akan menentukan arah pembangunan Aceh di masa mendatang.