Selasa, 11 November 2025
Beranda / Tajuk / Ketua MWA, Tegakkan Aturan Sebelum Reputasi Runtuh

Ketua MWA, Tegakkan Aturan Sebelum Reputasi Runtuh

Selasa, 11 November 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Sudah lebih dari sebulan sejak surat resmi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi diterbitkan Nomor 1215/B.B1/WS.01.05/2025, tertanggal 17 Oktober 2025 yang dengan tegas menyatakan bahwa Prof. Dr. dr. Syahrul, Sp.S(K) tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Syiah Kuala (USK).

Alasannya sederhana dan tak terbantahkan, ia bukan lagi dosen aktif, melainkan pejabat struktural di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Jakarta. Namun, hingga kini, Ketua MWA USK belum juga mengambil langkah konkret untuk mengganti Syahrul.

Pertanyaan pun menyeruak dibenak publik, ada apa di balik pembiaran ini?

Aturan perundangan bukanlah tafsir subjektif. Baik Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2022 maupun Peraturan MWA Nomor 2 Tahun 2023 telah menjelaskan secara gamblang bahwa anggota MWA dari unsur dosen harus merupakan dosen aktif di USK. Surat Dirjen Dikti bahkan sudah memerintahkan langkah administratif yang jelas: memberhentikan Syahrul dan meminta Senat Akademik Universitas segera memproses pergantian antar waktu.

Dalam tata kelola universitas berbadan hukum, ketaatan pada regulasi bukan sekadar formalitas. Ia adalah fondasi legitimasi. Maka, ketika pimpinan MWA memilih diam atau menunda pelaksanaan surat kementerian, yang dipertaruhkan bukan hanya kredibilitas lembaga, melainkan marwah hukum dan moral kampus.

Bau kepentingan politik kampus tak bisa dihindari. Penundaan pergantian Syahrul bertepatan dengan masa menuju pemilihan Rektor USK periode 2026 - 2031. MWA, sebagaimana diketahui, memiliki peran penting dalam proses pemilihan tersebut. Maka wajar bila publik akademik mulai curiga: apakah kehadiran Syahrul yang sejatinya sudah tak memenuhi syarat dipertahankan demi mengamankan suara bagi kandidat tertentu?

Firdaus Mirza Nusuary, dosen FISIP USK, bahkan terang-terangan menyebut bahwa sikap MWA terkesan mengabaikan surat kementerian. “Aturannya jelas, suratnya sudah ada. Jika masih diabaikan, publik akan bertanya, ada kepentingan apa di balik ini?” katanya.

Pernyataan Firdaus mencerminkan kegelisahan banyak dosen USK: jika hukum internal saja bisa dikesampingkan, bagaimana kampus ini bisa menjadi teladan integritas bagi mahasiswanya?

Masalah ini bukan sekadar sengketa administratif. Ia mencerminkan krisis tata kelola dan moral kepemimpinan. Ketua MWA seharusnya menjadi penjaga konstitusi universitas, bukan pemain di dalamnya. Pembiaran terhadap pelanggaran aturan menciptakan preseden berbahaya, bahwa keputusan hukum bisa dinegosiasikan ketika menyentuh kepentingan politik.

Kementerian sudah bersuara. Aturan sudah jelas. Maka tidak ada lagi ruang bagi interpretasi abu-abu. Menunda hanya akan memperpanjang krisis kepercayaan dan merusak legitimasi seluruh keputusan MWA, termasuk nantinya hasil pemilihan rektor.

USK adalah universitas kebanggaan rakyat Aceh, jantong hatee masyarakat ilmiah. Reputasi itu dibangun bukan hanya oleh prestasi akademik, tapi juga oleh integritas moral pengelolanya. Ketika hukum kampus mulai dinegosiasikan, universitas kehilangan arah.

Karena itu, Majelis Wali Amanat harus segera menegakkan surat kementerian, mengganti anggota yang tak memenuhi syarat, dan memastikan seluruh proses pemilihan rektor berjalan dalam koridor hukum. Jika pimpinan MWA tak mampu menunjukkan ketegasan, maka ia sedang menggadaikan wibawa institusi demi kepentingan sesaat.

Kampus bukan panggung politik. Ia adalah rumah akal sehat, tempat kebenaran ditegakkan bukan dinegosiasikan.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI