Minggu, 29 Juni 2025
Beranda / Tajuk / Jejak Panjang Membawa Pulang Empat Pulau

Jejak Panjang Membawa Pulang Empat Pulau

Minggu, 29 Juni 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Secara geografis, jarak dari Banda Aceh ke Sumatera Utara bukan perkara jauh. Perjalanan darat dengan bus hanya membutuhkan waktu 11 hingga 12 jam. Jika naik pesawat, waktunya bahkan tak sampai satu setengah jam.

Namun, jarak politik antara Aceh dan Sumatera Utara bisa terasa sangat jauh terlebih bila harus menempuh rute melalui jalan panjang politik nasional. Itulah yang terjadi dalam perjalanan panjang mengembalikan empat pulau Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil ke pangkuan Aceh, tepatnya ke Kabupaten Aceh Singkil.

Selama hampir dua dekade, sejak 2008 hingga 2023, perjuangan Aceh dalam menjemput kembali pulau-pulau itu seperti naik bus lambat, melelahkan, dan penuh rintangan. Baru pada 2025, Aceh bisa “terbang” langsung menembus awan politik pusat dengan keputusan strategis yang menandai kembalinya keempat pulau tersebut secara resmi ke wilayah administrasi Aceh.

Perjalanan advokasi dimulai sejak 2008, saat Aceh masih berhadapan langsung dengan Sumatera Utara. Hingga 2012, upaya administratif dan klarifikasi dokumen dilakukan, tetapi belum juga membuahkan hasil. Seiring berjalannya waktu, rute pun bergeser. Mulai 2017 hingga 2023, Aceh harus berurusan langsung dengan pemerintah pusat.

Salah satu titik balik terjadi pada Desember 2017. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Bina Adwil) Kementerian Dalam Negeri, melalui surat resmi yang diteken Dirjen Eko Subowo, menyatakan bahwa Peta Topografi TNI AD tahun 1978 tidak bisa dijadikan acuan resmi untuk penetapan batas wilayah administratif. Pernyataan ini membuat posisi Aceh dalam klaim keempat pulau menjadi rapuh.

Namun Aceh tak tinggal diam. Kesalahan administratif yang terjadi pada 2009 mulai dibenahi pada 2018. Sayangnya, dinamika internal di pusat mulai dari pergantian menteri pada Oktober 2019, hingga pergantian Dirjen Bina Adwil pada Juli 2020 membuat proses pengembalian menjadi stagnan.

Aceh kembali meminta fasilitasi, menolak dengan tegas perpindahan posisi empat pulau tersebut ke Sumatera Utara. Namun, upaya itu diganjal oleh terbitnya Keputusan Mendagri Nomor 050-145/2022 pada 14 Februari 2022, yang memperkuat posisi Sumatera Utara atas keempat pulau tersebut.

Alih-alih berhenti, protes dari Aceh justru semakin menguat. Surat keberatan dikirim. Tim survei lapangan dari pusat pun turun langsung pada awal Juni 2022. Mendagri kala itu berjanji akan kembali menggelar rapat pada 6 Juli 2022. Tetapi janji tinggal janji.

Rekomendasi hasil pertemuan di Bali, 21 Juli 2022, tak digubris. Temuan faktual di lapangan pun dianggap angin lalu. Bahkan fakta sejarah berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar tahun 1992, ikut diabaikan.

Sebagai gantinya, pada 9 November 2022, Mendagri menerbitkan keputusan baru: Kepmendagri Nomor 100.1.1-6117/2022. Aceh tak tinggal diam. Pada 7 Februari 2023, surat protes dilayangkan kembali ke Kemendagri. Namun, jalan menuju istana belum mulus. Presiden saat itu, Joko Widodo, terkesan irit bicara. “Dak tahu saya. Kok saya?” begitu kiranya respons imajiner yang bisa dibayangkan dari pusat kekuasaan.

Dulu, saat masih menempuh jalur “bus politik”, Aceh kerap terhambat. Jika tidak dilempar “batu” di tengah jalan, terkadang sampai di pusat sudah terlalu lelah untuk bicara. Berkas administrasi tebal yang dibawa pun kerap dipinggirkan oleh birokrasi yang lebih besar dan lambat.

Tapi tahun 2025 berbeda. Untuk pertama kalinya, seluruh unsur bergerak serempak. Dari cuaca politik nasional yang mendukung, hingga kesiapan armada administrasi di Aceh. Bahkan pilot dan kopilot yang mengarahkan kebijakan pun seirama.

Peta jalan yang lebih rinci, data yang lebih solid, serta situasi politik yang lebih terbuka membuat Aceh tak perlu lagi “transit” di Sumatera Utara. Jalur ditempuh langsung ke pusat kekuasaan. Hasilnya adalah keputusan monumental: Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 tertanggal 25 April 2025 direvisi menjadi Kepmendagri Nomor 300.2.2-2430. Keempat pulau itu pun resmi kembali ke wilayah administrasi Aceh, bergabung kembali dengan Kabupaten Aceh Singkil, daerah yang dikenal dengan semboyan Bumo Sepakat Sepadan.

Menariknya, keputusan ini berdiri di atas dokumen-dokumen lama yang sebelumnya justru ditolak dan dipinggirkan. Data yang dulu dicibir, kini justru menjadi sandaran hukum. Fakta sejarah yang sempat dianggap usang, kini menjadi pilar utama.

Apa yang diperjuangkan Aceh selama 17 tahun ternyata tidak sia-sia. Masing-masing tahap, meski tampak seperti kegagalan, sesungguhnya membangun fondasi kuat untuk langkah besar di 2025. Setiap surat yang dikirim, setiap peta yang direvisi, setiap jejak kaki ke Jakarta, semuanya menjadi bagian dari narasi panjang yang akhirnya membawa pulang empat pulau itu.

Kemenangan ini bukan hanya kemenangan administratif. Ini adalah simbol atas kesabaran, keteguhan, dan konsistensi perjuangan politik Aceh untuk menjaga hak - haknya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI