Drama Korban di Panggung Pilkada Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Aceh kembali bergolak. Bukan karena konflik bersenjata, melainkan karena sandiwara politik jelang Pilkada 2024. Kali ini, panggungnya dihiasi oleh para aktor yang berlomba-lomba memainkan peran sebagai korban terzalimi.
Sungguh ironis. Tanah yang pernah menjadi saksi perjuangan heroik kini menjadi arena adu akting politik murahan. Para calon pemimpin, alih-alih unjuk gagasan brilian, malah sibuk meratapi nasib dan menyalahkan pihak lain atas kegagalan sendiri.
Seharusnya mereka mendapatkan akar persoalan sehingga mereka gagal dan mencari solusinya, bukan justru metapi nasib dan menyalahkan pihak lain. Petarung yang handal dia akan tahu titik lemahnya dan berupaya menutupi kelemahan itu dengan sebuah karya, bukan meratapi.
Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa rakyat Aceh bukan penonton buta. Pengalaman panjang konflik dan perdamaian telah mengasah ketajaman intuisi politik masyarakat. Mereka bisa membedakan mana air mata buaya dan mana kesedihan yang tulus.
Lebih menyedihkan lagi, ada oknum yang rela mencederai diri sendiri demi segelintir simpati. Tindakan semacam ini bukan hanya melukai fisik, tapi juga mencoreng martabat politik Aceh. Apakah kursi kekuasaan sebegitu berharganya hingga harga diri pun dipertaruhkan?
Para kandidat dan tim sukses, sadarlah. Ketika Anda berteriak "Dizalimi!" padahal borok itu datang dari kebijakan Anda sendiri, Anda sedang menertawakan kecerdasan rakyat Aceh. Ketika Anda memfitnah lawan politik tanpa bukti, sesungguhnya Anda sedang menggali kubur untuk karier politik Anda sendiri.
Pilkada Aceh 2024 seharusnya menjadi panggung adu visi, bukan kontes siapa yang paling pandai berperan sebagai korban. Rakyat Aceh membutuhkan pemimpin visioner, bukan tukang drama politik.
Kepada masyarakat Aceh, tetaplah kritis. Jangan biarkan air mata buaya para politisi membutakan nalar Anda. Pilkada bukan sinetron, di mana tokoh yang paling menderita selalu menjadi protagonis. Dalam politik, mereka yang gemar mengklaim diri sebagai korban justru sering menjadi predator ketika berkuasa.
Sudah saatnya Aceh memiliki pemimpin yang tidak alergi dengan kritik, yang tidak hobi menyalahkan orang lain atas kegagalannya sendiri. Pemimpin yang tidak menganggap kursi kekuasaan sebagai hak waris yang harus dipertahankan dengan segala cara.
Mari kita kembalikan marwah politik Aceh. Bukan sebagai lahan subur bagi drama-drama murahan, tapi sebagai tempat lahirnya ide-ide cemerlang untuk kemajuan. Jangan biarkan Pilkada 2024 menjadi ajang perlombaan siapa yang paling pandai berperan sebagai korban. Sebab jika itu terjadi, korban sesungguhnya adalah masa depan Aceh.
Ingatlah, pemimpin sejati tidak sibuk meratapi nasib, tapi fokus mencari solusi. Bagi para calon pemimpin Aceh, jika Anda masih gemar bermain peran sebagai korban, mungkin panggung yang Anda cari bukan di arena politik. [red]