Minggu, 08 Juni 2025
Beranda / Tajuk / Dinding Tak Kasatmata Akademik

Dinding Tak Kasatmata Akademik

Sabtu, 07 Juni 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi diskriminasi dosen swasta. Foto: Edi Wahyono


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia, jurang pemisah antara kesejahteraan dosen negeri (PTN) dan swasta (PTS) telah lama menjadi "dinding tak kasatmata". Meski Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2025 menegaskan bahwa perbedaan pendapatan bukanlah diskriminasi hukum, realitas di lapangan justru mengungkap ketimpangan struktural yang menggerus martabat dosen PTS.

Data Kompas (2025) menunjukkan beban kerja dosen meningkat 16%, tetapi kenaikan gaji pokok hanya 5% dalam dua tahun dan ini hanya dialami dosen PTN. Di sisi lain, banyak dosen PTS bergaji di bawah Rp2 juta/bulan, bahkan ada yang digaji Rp40.000 per SKS tanpa kepastian kontrak.

Jika ditelisik lebih dalam berbagai informasi ditemukan fakta nyata terjadi perlaku diskriminasi dosen swasta. Mulai dari urusan finansial, hingga masuk ke arena relasi kuasa sehingga berdampak kepada kinerja para dosen swasta.

Mirisnya ada klaim terlabelkan jika jadi Dosen PTS sering kali menjadi "pekerja akademik tanpa jaminan". Laporan Kompasiana (2023) mengungkap praktik di mana yayasan PTS hanya membayar dosen "karyawan", sementara dosen tetap tanpa status karyawan tidak menerima gaji meski memenuhi kewajiban tridharma.

Ketergantungan pada SPP Mahasiswa, pendanaan PTS yang bergantung pada SPP membatasi kemampuan institusi meningkatkan gaji dosen. Seperti dikeluhkan Aptisi Ambon, daya beli masyarakat rendah sehingga SPP pun rendah, berimbas pada keterbatasan rekrutmen dan retensi dosen kompeten.

Selain itu masih dirasakan ketidaksetaraan akses sumber daya, dosen PTN mendapat tunjangan kinerja (tukin) dan akses pendanaan penelitian dari APBN/APBD, sementara dosen PTS bergantung pada kemampuan yayasan. Padahal, Permendikbudristek No. 55/2024 tentang Satgas PPKPT mengamanatkan kampus bebas dari diskriminasi, namun implementasi di PTS masih lemah.

Menariknya lagi praktek politik jabatan fungsional terjadi meski jenjang karir (Asisten Ahli hingga Guru Besar) secara hukum setara, proses pengajuan guru besar di PTS sering terhambat birokrasi dan stigmatisasi "kualitas rendah" oleh otoritas pendidikan. Jika ini terus terjadi maka ada ketimpangan guru besar antara PTS dengan PTN.

Bahkan double beban kerja berlapis lapis saat menjadi dosen swasta (PTS) kerap dipaksa bekerja "bagai kuda" mengajar hingga 56,7 jam/minggu (melebihi batas UU 16 SKS), namun 76,5% masih perlu kerja sampingan untuk bertahan hidup.

Jika dinilai dari prespektif loyalitas vs status maka menjadi dilema, hal ini dipicu label prestise sosial, jaminan pensiun, dan akses riset menyebabkan talenta terbaik PTS bermigrasi ke PTN. Fenomena ini memicu krisis regenerasi di PTS.

Kondisi demikian sejalan dengan pemikiran Pierre Bourdieu dalam teori symbolic violence menyebut diskriminasi sebagai kekerasan yang "dilegitimasi sistem". Dalam konteks dosen PTS, ini terwujud dalam marginalisasi epistemik. Maksudnya kebijakan pemerintah yang generik (misalnya standar sertifikasi seragam) mengabaikan variasi kapasitas PTS di daerah.

Pemikiran Pierre Bourdieu masih sangat linear dari kisah dosen PTS dipersulit administrasi atau diancam saat mengkritik kebijakan adalah bentuk power - based violence yang diatur Permendikbudristek No. 55/2024, tetapi jarang ditindak oleh Satgas PPKPT. Masih ada lagi Status PNS masih dianggap primordial oleh masyarakat Indonesia. Padahal, dosen PTS di kampus unggulan bisa lebih sejahtera, namun stigma "kelas dua" tetap melekat.

Lantas muncul pertanyaan kuncinya apa solusi? Maka pemerintah perlu mengadopsi skala remunerasi berdasarkan klasifikasi PTS (unggul, mandiri, kerja sama). PTS unggul bisa mendapat insentif fiskal jika memenuhi standar mutu, sehingga mampu meningkatkan gaji dosen.

Solusi lain diberikan bantuan operasional pendidikan (BOP); seperti diusulkan Aptisi, BOP untuk PTS harus diperluas, khususnya di daerah dengan daya beli rendah. Sangat penting sekali dosen swasta diberikan penguatan perlindungan hukum, seperti membentuk satgas harus menjangkau kasus diskriminasi "halus" seperti penghambatan promosi jabatan atau pengucilan dalam riset. Metode kerjanya menerapkan mekanisme whistleblowing system anonim perlu dibangun.

Pemerintah wajib memastikan yayasan menaati kontrak kerja dan memberikan gaji sesuai UU Ketenagakerjaan. Pelanggaran harus berimplikasi pada sanksi izin operasional kampus. Diperlukan juga kampanye kesetaraan profesi, asosiasi seperti Aptisi harus memperjuangkan narasi bahwa "dosen berkualitas tak ditentukan status institusi".

Agar membuat harmoni dan sinergis maka pola kolaborasi riset dan pertukaran dosen antara PTN – PTS dapat memutus segregasi, sekaligus membuka akses sumber daya bagi dosen PTS.

Diskriminasi terhadap dosen PTS bukan hanya persoalan gaji, melainkan kegagalan sistemik dalam melihat pendidikan sebagai ekosistem setara. Jika pemerintah terus membiarkan ketimpangan ini, kita sedang membangun menara pendidikan dengan pondasi retak.

Seperti diingatkan Bivitri Susanti,"Kampus bukan sekadar ruang produksi ilmu, tetapi ruang produksi keadilan sosial". Saatnya pendidikan Indonesia berhenti menjadi panggung dikotomi "negeri vs swasta", dan beralih menjadi taman inklusif tempat setiap insan akademik tumbuh bermartabat.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI