DIALEKSIS.COM | Tajuk - Partai Golkar Aceh tengah bersiap menghadapi Musyawarah Daerah (Musda) ke - 12, sebuah momentum krusial yang akan menentukan arah partai di tanah Serambi Mekkah. Di tengah hiruk-pikuk perebutan kursi ketua, ada satu prinsip yang tak boleh terabaikan: Golkar adalah partai kader. Bukan sekadar organisasi yang mengakomodasi kepentingan pragmatis, melainkan entitas yang dibangun dari darah, keringat, dan kesetiaan para kadernya.
Sebagai partai berusia matang jelang 61 tahun Golkar telah membuktikan ketangguhannya melalui sistem kaderisasi yang terstruktur dan tata kelola organisasi yang mapan. Michels (1911) dalam Iron Law of Oligarchy mengingatkan bahwa partai politik rentan terperangkap dalam oligarki jika tak memiliki sistem regenerasi yang meritokratis.
Namun, Golkar justru menunjukkan kekuatan sebaliknya: kaderisasinya yang tertata menjadi benteng dari praktik shortcut kekuasaan. Kekuatan partai ini tidak terletak pada gemerlap figur instant, melainkan pada ribuan kader yang bertumbuh dari bawah, menginternalisasi nilai-nilai perjuangan, serta mengakar kuat di tengah masyarakat. Seperti ditegaskan Aburizal Bakrie dalam Lokakarya Pengkaderan DPP Partai Golkar (2011), “Golkar adalah partai kader. Hidup-matinya partai ini bergantung pada kesetiaan dan partisipasi kadernya.” Pernyataan ini bukan retorika kosong, melainkan penegasan filosofis bahwa Golkar hanya akan bermakna ketika dipimpin oleh mereka yang lahir dari rahim organisasinya sendiri.
Membuka pintu Musda bagi figur non - kader bukan hanya pengkhianatan terhadap identitas partai, melainkan langkah bunuh diri politik. Panebianco (1988) dalam Political Parties: Organization and Power menegaskan bahwa legitimasi sebuah partai terletak pada kemampuannya menjaga institutionalization konsistensi antara nilai inti dan praktik kepemimpinan. Golkar Aceh, yang selama ini menjadi pilar perdamaian pascakonflik, tidak boleh terjebak pada transaksionalisme kekuasaan.
Kekuatan partai ini terletak pada kader - kader tulen yang memahami denyut nadi rakyat Aceh bukan pada sosok yang datang dengan janji dana atau kuasa instan. Sejarah membuktikan, resolusi damai Aceh 2005 tidak lepas dari peran kader Golkar yang berjiwa humanis, peka terhadap aspirasi lokal, dan berkomitmen pada kesejahteraan kolektif.
Putnam (1993) dalam Making Democracy Work menekankan pentingnya social capital jaringan kepercayaan dan norma kolektif sebagai fondasi keberhasilan institusi politik. Dalam konteks Golkar Aceh, kader yang dibina dari bawah adalah pemilik social capital tersebut. Mereka adalah produk sistem kaderisasi yang telah melewati proses penyaringan ideologis, memahami sejarah perjuangan partai, dan memiliki moral reasoning yang selaras dengan cita-cita luhur Golkar. Sementara, figur non - kader seperti diingatkan Vedi R. Hadiz (2010) dalam Localising Power in Post - Authoritarian Indonesia sering kali menjadi alat oligarki yang menggerus kredibilitas partai demi kepentingan segelintir elite.
Namun demikian, dalam dinamika demokrasi internal partai, sah - sah saja jika muncul suara kritis dari pengurus atau kader yang menolak sosok di luar partai. Perdebatan semacam ini justru mencerminkan kesehatan organisasi sebuah ruang di mana ideologi diuji dan komitmen dikristalisasi. Namun, ketika calon tersebut telah mendapat diskresi resmi dari Ketua Umum Partai, prinsip kedisiplinan kolektif harus dikedepankan. Max Weber (1919) dalam Politics as a Vocation mengingatkan bahwa loyalitas pada struktur otoritas legal-rasional adalah kunci stabilitas organisasi politik. Sebagai kader yang baik, tugas kita adalah menerima keputusan tersebut dengan legawa, lalu menjalankannya secara bertanggung jawab tanpa mengorbankan prinsip pengawasan kritis.
Memang, kekuasaan adalah tujuan setiap partai politik. Namun, bagi Golkar, kekuasaan haruslah dimaknai sebagai amanah untuk mengabdi, bukan alat memperkaya diri atau segelintir elite. Perlu dingat untuk siapa pun mengingatkan bahwa partai yang kehilangan identitas ideologisnya akan menjadi mesin kekuasaan kosong, rentan dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal. Di tengah godaan politik praktis yang mengutamakan elektabilitas semu, Golkar Aceh wajib kembali ke khittahnya: partai kader dengan jiwa kerakyatan. Menyerahkan tampuk kepemimpinan pada non - kader hanya akan mengikis kepercayaan publik, merusak citra partai sebagai agent of peace, dan yang paling berbahaya mengubur idealismenya sebagai organisasi pejuang.
Musda ke - 12 harus menjadi momen refleksi: Golkar Aceh tidak kekurangan kader unggul. Yang diperlukan hanyalah keberanian untuk memilih pemimpin yang setia pada garis perjuangan, bukan pemimpin parachute yang datang dengan embel - embel materi. Sebab, seperti pesan Aburizal Bakrie, “Partisipasi kader adalah napas bagi hidup - matinya Golkar.”
Rakyat Aceh menunggu. Jangan biarkan pohon beringin tumbang oleh tangan-tangan yang tak pernah menyiraminya sejak akar. []