Arah Baru Om Bus?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Dalam peta perpolitikan Aceh pasca Pilkada 2024, sosok Bustami Hamzah tampil bak panglima yang kalah perang namun tak terpatahkan semangat strateginya. Kekalahan bukanlah akhir, melainkan simpul baru dalam narasi perjalanan politik yang kompleks dan penuh kalkulasi.
Dengan perolehan suara mencapai 46,73 persen sebuah angka signifikan yang jauh dari sekadar defisit. Bustami memiliki modal politik yang tak bisa dipandang sebelah mata. Kekuatan ini bukan sekadar angka, melainkan representasi dari kepercayaan rakyat yang masih mengalir.
Tiga skenario terbentang di hadapan Bustami: bertahan dalam gelanggang politik, mengendalikan roda bisnis, atau memilih pensiun total. Namun, dalam peta kekuasaan Aceh, pilihan terakhir nyaris mustahil terutama bagi seorang dengan jejaring seluas dan kekayaan sebesar Rp20 miliar.
Kepemilikan 33 bidang tanah dan bangunan senilai Rp7,7 miliar di berbagai wilayah strategis bukanlah sekadar aset, melainkan instrumen kekuatan. Di Aceh, modal finansial adalah pintu masuk menuju arena politik yang sesungguhnya.
Pilihan menjadi ketua partai politik bukan sekadar opsi, melainkan keniscayaan strategik. Partai politik dengan dahaga akan sumber daya finansial akan membuka pintu lebar bagi Bustami. Golkar, NasDem, dan PAS tiga kendaraan politik potensial menjadi panggung pertimbangan.
Posisi ketua partai membuka ruang tak terbatas. Ia dapat membangun narasi oposisi, mengkritisi kekuasaan, sekaligus membangun kembali jembatan politik yang sempat terputus. Dalam filosofi politik Aceh, "tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan yang selalu bergeser."
Gagasan Bustami untuk menggandeng kekuatan dayah, kampus, generasi milenial, dan gerakan perempuan membuka babak baru naratif perpolitikan Aceh. Ini bukan sekadar strategi, melainkan upaya dekonstruksi model politik lama yang rigid dan terkotak-kotak.
Kekalahan dalam Pilkada 2024 mungkin hanya simpul kecil dalam peta perjalanan panjang seorang Bustami Hamzah. Ia tak sekadar politisi, melainkan arsitek perubahan yang terus merancang ulang bangun rumah politiknya.
Aceh menanti dengan napas tertahan langkah selanjutnya. [red]