DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di lingkaran birokrasi dan media Aceh, nama Saifullah Abdulgani bukan sosok asing. Pria yang akrab disapa SAG ini dikenal sebagai figur tenang namun tajam dalam menyampaikan pesan publik. Jejak kariernya sebagai juru bicara melintasi berbagai babak penting dalam sejarah Aceh dari masa rehabilitasi pascatsunami, dinamika pemerintahan daerah, hingga menghadapi krisis pandemi dan hajatan olahraga nasional.
Tahun 2024 menjadi salah satu tonggak baru dalam perjalanan panjangnya. SAG dipercaya menjadi Juru Bicara PB PON XXI Aceh - Sumut Wilayah Aceh. Jabatan itu bukan sekadar tugas formal, melainkan pembuktian atas konsistensi seorang komunikator publik yang telah terbiasa berada di garis depan, menjembatani pemerintah dan masyarakat dalam setiap situasi.
“Usai sukses mengemban peran sebagai jubir PON, ia tidak berdiam diri. SAG tetap menjadi rujukan bagi banyak pihak yang membutuhkan kejernihan komunikasi dan keahliannya dalam merajut pesan,” ujar seorang koleganya di lingkungan pemerintahan Aceh.
Karier komunikasi SAG bermula dari masa penuh luka dan harapan tsunami Aceh 2004. Saat itu, pemerintah pusat membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh - Nias untuk memulihkan wilayah yang porak-poranda. Di lembaga itulah SAG bersama BRR Twk Mirza Keumala untuk ikut membantunya dalam komunikasi publik. Ia sering mewakili BRR ke pelbagai komunitas termasuk komunitas kampus, mengelola komunikasi di tengah trauma kolektif dan kompleksitas bantuan internasional.
Menjadi jubir BRR bukan perkara mudah. Ia harus mampu berbicara dengan bahasa yang menenangkan, tapi tetap tegas dan akurat. Dalam situasi yang sarat tekanan, SAG tampil sebagai wajah lembaga yang menyalurkan optimisme: bahwa Aceh akan bangkit, pelan tapi pasti. Dari ruang konferensi pers hingga lokasi rehabilitasi di pelosok, ia menunaikan tugasnya dengan disiplin dan empati.
Setelah masa BRR usai, SAG kembali ke jalur pelayanan publik. Ia dipercaya menjadi Juru Bicara Pemerintah Aceh pada era Gubernur Irwandi Yusuf, disaat itu posisi khusus sebagai Jubir Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) posisinya kemudian berlanjut di masa Gubernur Nova Iriansyah. Dalam periode itu, SAG bersama juru bicara lainnya seperti Wiratmadinata menjadi wajah resmi pemerintah dalam menyampaikan kebijakan dan klarifikasi publik.
Salah satu ciri khas SAG adalah keberaniannya turun langsung ke lapangan. Pada 27 Desember 2019, misalnya, ia menemui langsung mahasiswa Subulussalam yang berdemo di Banda Aceh terkait persoalan izin lahan perkebunan. Ia menerima aspirasi mereka dan berjanji menyampaikannya kepada pihak berwenang. Sikap itu mencerminkan gaya komunikasinya yang egaliter: membangun dialog, bukan sekadar membaca naskah.
Dalam kesempatan lain, pada 17 Juni 2019, SAG menanggapi tudingan bahwa Pemerintah Aceh “tidak percaya diri menghadapi kritik”. Melalui media Dialeksis, ia menegaskan bahwa kritik konstruktif adalah vitamin bagi demokrasi, namun kritik yang tendensius harus dijawab dengan fakta. “Kritik boleh, tapi kebenaran tidak boleh dibiarkan terdistorsi,” ujarnya kala itu.
Maret 2020, dunia terguncang oleh pandemi COVID-19. Di Aceh, SAG kembali berada di garis depan. Ia ditunjuk sebagai Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Aceh, posisi yang menuntut kecepatan, kejelasan, dan empati dalam berkomunikasi di tengah ketakutan publik.
Hari-harinya dipenuhi konferensi pers daring, klarifikasi data kasus, hingga menjawab kebingungan warga soal kebijakan pembatasan. Ia bukan sekadar membaca angka, tetapi berupaya menenangkan publik dengan narasi yang berimbang. Dalam situasi yang mencekam, suaranya hadir sebagai jangkar rasionalitas.
“Saya hanya ingin memastikan masyarakat mendapat informasi yang benar dan tidak panik,” ujarnya kala itu, dengan wajah yang tetap tenang meski di bawah tekanan.
Publik Aceh masih mengingat sosoknya di layar televisi dan pemberitaan harian. Di masa sulit itu, SAG bukan hanya juru bicara ia menjadi penyampai harapan.
Empat tahun berselang, kepercayaan itu kembali datang. Melalui rapat koordinasi promosi dan publikasi di Kantor Gubernur Aceh pada Agustus 2024, SAG resmi ditunjuk sebagai Juru Bicara PB PON XXI Wilayah Aceh. Ia menjadi “wajah media” untuk perhelatan olahraga nasional yang untuk pertama kalinya digelar di tanah rencong.
Sebelum ditunjuk sebagai jubir, SAG lebih dulu menjabat Kepala Subbidang Informasi dan Media Center PB PON. Ia ikut merancang sistem komunikasi dan strategi publikasi sejak tahap persiapan. Tidak heran bila penunjukan itu dianggap keputusan strategis. Di tangan SAG, pesan PON XXI disampaikan dengan disiplin data dan narasi kebanggaan daerah.
“Peran jubir PON bukan sekadar menyampaikan jadwal pertandingan,” katanya suatu kali. “Tugas utama kami adalah menjaga nama baik Aceh sebagai tuan rumah, memastikan publik mendapat informasi yang jujur, cepat, dan berimbang.”
Tugas itu dijalankan dengan dedikasi khasnya: tanpa banyak sorotan, tapi dengan hasil yang terasa.
Dari BRR, JKA hingga PON XXI, dari Irwandi hingga Nova, dari tsunami hingga pandemi, SAG menjelma sebagai satu-satunya sosok di Aceh yang benar-benar menapaki seluruh dimensi kerja kehumasan publik. Asam garam, manis getir dunia komunikasi telah ia lewati. Ia dikenal tidak hanya karena kepiawaiannya berbicara di depan kamera, tapi juga kemampuannya menulis dengan gaya yang jernih dan argumentatif.
Mendiang Mirza Keumala, tokoh Aceh yang pernah dekat dengannya, pernah berkata, “SAG itu sosok jenaka, tapi mampu menyelesaikan urusan di segala medan.” Ucapan itu menggambarkan keseimbangan antara kecerdasan, humor, dan keteguhan kualitas langka dalam birokrasi publik yang sering kaku dan formal.
Kini, setelah dua dekade lebih berkiprah, nama Saifullah Abdulgani telah menjadi bagian dari sejarah komunikasi publik Aceh. Ia bukan politisi, bukan pula pejabat yang mencari panggung. Ia adalah penyambung lidah antara kebijakan dan nurani masyarakat.
Di setiap eranya dari masa duka hingga masa kebangkitan SAG hadir dengan suara yang tenang namun tegas, menyampaikan pesan tanpa kehilangan empati. Ia membuktikan bahwa menjadi juru bicara bukan sekadar profesi, melainkan seni memahami hati publik.
Jika banyak orang berjuang agar bisa didengar, maka Saifullah Abdulgani berjuang agar pesan yang disampaikan tetap benar, menyejukkan, dan sampai ke hati rakyat.
Dan mungkin di situlah letak kebesarannya menjadi suara yang menjembatani, bukan menguasai; menjadi lidah publik yang menyatukan, bukan memecah.