Obituari: Sabam Leo Batubara (1938-2018)
Font: Ukuran: - +
Sabam Leo Batubara, Anggota Kelompok Kerja Bidang Pengaduan Dewan Pers meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta Pusat, Rabu, 29 Agustus 2018 pukul 16.30 WIB. Tokoh pers Indonesia ini meninggal di usia 79 tahun. (Foto : the jakarta post)
Nezar Patria*
Dalam soal bagaimana hidup menjaga kebugaran jiwa raga, Sabam Leo Batubara, yang Rabu lalu meninggal terlalu muda untuk semangatnya yang membara—80 tahun, punya tiga ukuran pertanda seseorang hidup sehat: "Eat well, sleep well, go to toilet well".
Dia suka mengulang standar itu manakala saya bertanya dengan nada cemburu ihwal energinya yang konstan: bekerja 8 jam lebih sehari, dan tetap tekun setiap hari kerja memeriksa tumpukan berkas pengaduan di Kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta.
"Minum air hangat, dan jalan pagi," ujar Leo memberi tips tambahan. Meski kami suka memanggilnya Opung, sapaan akrab buat seorang kakek dalam bahasa Batak, Leo tak pernah kalah dengan mereka yang lebih muda. Jika berbicara di depan forum suaranya lah yang paling menggelegar.
Kadang saya berpikir dia termasuk manusia yang hemat listrik: tak terlalu membutuhkan mikrofon. Dia akan bicara seperti senapan yang sedang memuntahkan peluru, lengkap dengan butir pemikiran, dan biasanya para juru giring diskusi akan kerepotan menghentikannya. Pandapatnya tajam, dan kadang di ujungnya diberi pesan pembangkit semangat. Leo adalah seorang guru, dan begitulah sesungguhnya.
***
Lahir di Pematang Siantar, 26 Agustus 1938, dan Leo aktif di dunia gerakan mahasiswa pada masa Orde Lama, saat dia menjadi mahasiswa di IKIP Jakarta. Kakak sepupunya adalah seorang tokoh Angkatan 66, Cosmas Batubara, yang kelak menjadi seorang menteri di masa Orde Baru, dan juga tokoh Golkar (Golongan Karya).
Jika Cosmas memilih jalan karirnya sebagai politisi, maka Leo memutuskan hidup di dunia pers. Dia menjadi pemimpin perusahaan Harian Suara Karya, sejak koran milik Golkar itu berdiri sampai tutup. Selama di Golkar dia aktif di SPS, serikat penerbit suratkabar. Dari sana lah Leo kemudian aktif di Dewan Pers mewakili organisasi para penerbit itu.
Perjumpaan pertama saya dan Leo berada dalam dua titik: curiga dan kagum. Ketika dipilih menjadi salah satu anggota Dewan Pers pada 2013, saya mendatangi meja kerja Leo di bilik belakang di lantai 7 Gedung Dewan Pers.
Dulu saat di bangku SMA di Banda Aceh, saya pernah menjuarai sebuah lomba nasional mengarang yang diadakan Suara Karya pada 1988. Sebagai juara hadiahnya dari tiga menteri, dan jumlahnya membuat saya sulit tidur: diundang ke Jakarta, menginap di Hotel Indonesia, dapat tabanas dan beasiswa, serta puluhan buku dari Balai Pustaka. Alangkah murah hatinya koran ini, pikir saya waktu itu. Sertifikat pemenang diteken oleh pemimpin perusahaan dengan nama "S.L. Batubara". Tanda tangannya khas, garis pena dengan tarikan yang simpel. Saya mengagumi tanda tangan itu.
Suatu hari saya mampir ke meja Leo yang penuh tumpukan berkas pengaduan. Saya ingin menuntaskan rasa penasaran dengan menanyakan apakah S.L. Batubara itu adalah dirinya. "Ya, ya. Itu saya," ujar Leo. Dia memandang saya dengan menekuk wajahnya, sehingga matanya bisa mengintip dari atas bingkai kacamata yang turun sedikit dari pangkal hidungnya. Dia mengangguk-angguk, senyumnya dikulum sampai pipinya gembung. Pada saat itu saya merasa sedang menjalani takdir yang aneh. Pemimpin perusahaan koran Suara Karya dulu yang saya kagumi tandatangannya itu, kini adalah rekan kerja saya di Dewan Pers.
Leo juga punya ketrampilan membuat analisis, baik situasi, maupun kritik kebijakan. Ini mengantarkan saya kepada kecurigaan lain, apalagi sejumlah rekan menyebut dia pernah bertugas di badan intelijen sampai level direktur. Leo senyum-senyum saja ketika suatu hari yang lain saya bertanya soal ini kepadanya.
Dia mengatakan itu adalah tugas yang diberikan Orde Baru, tapi ujungnya nasehat intelijennya tak didengar sama sekali. "Para pejabat dulu lebih senang dengan laporan ABS, asal bapak senang. Saya memberikan fakta apa adanya," ujarnya. Dia kerap meminta pemerintah Orde Baru mengubah kebijakan yang represif dan korup, karena kebencian kepada rezim makin meluas. Tapi Leo tak didengar. Suaranya kali itu rupanya tak cukup kuat.
**
Setelah reformasi, dia berhenti bekerja di lembaga itu, dan memilih membantu Dewan Pers. Alasannya, dia ingin kemerdekaan pers adalah hak warga yang tak boleh dirampas lagi oleh rezim manapun. Bahwa Indonesia yang lebih baik hanya bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi. "Dengan fakta yang benar, maka keputusan yang benar bisa dilakukan", ujarnya. Saya membaca Leo telah berubah jauh. Dia nantinya justru menjadi pendukung berat kemerdekaan pers, semacam antitesis dari rezim lama yang pernah didukungnya.
Atmakusumah, Ketua Dewan Pers pertama sesudah UU Pers 1999 berlaku, mengatakan Leo Batubara adalah tokoh yang paling gigih dan keras menjaga Undang-undang Pers sejak rancangan peraturan itu dibahas. Salah satu pasal terpenting adalah Pasal 4, yang menegaskan terhadap pers nasional tak dikenakan penyensoran dan pembreidelan. Ini adalah roh kebebasan pers. Dengan pasal ini pula segala bentuk lisensi media gaya Orde Baru tamat riwayatnya. "Sejak Dewan Pers ini berdiri, Saudara Leo tak pernah berhenti menjaga kemerdekaan pers. Dia membaktikan hidupnya agar pers tak sampai dibungkam lagi," kata Atmakusumah.
Setiap pagi Leo akan datang ke Kantor Dewan Pers. Wajahnya segar, rambutnya mengkilat, dan tersisir rapi. Dia berjalan pelan, dengan ritual tetap: menyapa para pegawai di sekretariat, dan menuju ruangannya di bagian belakang. Ada ratusan kasus yang ditangani oleh Dewan Pers setiap tahun, dan Leo pasti ikut dalam sebagian besar proses itu. Jam terbangnya memang tinggi. Dia punya banyak trik. Misalnya untuk menguji apakah seorang wartawan hafal kode etik atau tidak. Suatu kali di sebuah acara pelatihan, dia menguji seorang yang mengaku sebagai wartawan. "Ada 67 pasal KEJ (kode etik jurnalistik), coba sebutkan dua pasal saja?" Leo bertanya. Tapi itu sesungguhnya adalah perangkap. Wartawan yang tak pernah baca kode etik akan terjebak. Bukan oleh bunyi pasal, tapi jumlah pasal yang disebutkan Leo. Jumlah sebenarnya adalah 11 bukan 67.
Dalam banyak sidang kasus pengaduan, Leo adalah semacam anggota yang ditunggu untuk memberikan paparan kunci. Saya suka menyebutnya sebagai "Jurus Leo". Dia akan menelaah karya jurnalistik dari dua sudut, sesuatu yang disebutnya sebagai "negative remark" jika si wartawan tak melaporkan secara akurat, mencampurkan fakta dan opini, serta kurang seimbang memberikan porsi bagi narasumber. "Anda tidak memberikan panggung yang adil, berat sebelah," kata Leo saat memberikan vonis. Jika dia menemukan cara pemberitaan yang bermutu, maka dia menyebutnya sebagai "positive remark", sesuatu yang bisa meringankan bagi media yang diadukan publik. Dan Leo memang lebih sering memihak publik. "Dari lebih 7000 kasus selama Dewan Pers berdiri, lebih dari 65 persen dimenangkan oleh publik," ujarnya beberapa tahun silam.
*
Rabu pagi pekan lalu saya masih sempat bertemu Leo. Saya dan beberapa rekan yang kebetulan bertamu ke kantor, menyalaminya begitu melihat dia keluar dari lift dan menuju ruang tamu. "How are you today, Sir," tanya saya. "Fine. Sehat,’ ujarnya sambil tersenyum khas, senyum yang ditahan yang membuat pipinya agak gembung itu. Dia baru saja kehilangan istri tercintanya akhir Juli lalu. Dan saya tak menyangka Rabu, 29 Agustus lalu itu adalah pagi terakhir saya bertemu Leo dan menjabat tangannya.
Pada pukul 3.15 sore seorang staf mengabarkan Leo terjatuh saat berjalan menuju ruangannya. Dia baru saja keluar dari bilik toilet. Dia terjengkang di lorong ruang kantor menuju meja kerjanya, dan dilarikan segera ke RSPAD dalam keadaan pingsan.
Pukul 4.02, Sabam Leo Batubara meninggal.
Saya teringat nasehatnya, dan tentu saja dia tak butuh tiga ukuran pertanda sehat itu lagi. Hanya satu yang bisa saya kembalikan kepadanya: "Sleep well".
Tidurlah Opung Leo. Tidur dengan damai di keabadian.
SABAM LEO BATUBARA, 1938-2018
*) Penulis adalah chief editor of The Jakarta Post . Anggota Dewan Pers