Milenial Pengumpul Kepingan Sejarah Itu Bernama Masykur
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Memungut kepingan demi kepingan bukti sejarah yang berserakan, dari membeli hingga mencari ke pelosok negeri bahkan luar negeri. Begitulah cara milenial satu ini mengaktualisasikan nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam dirinya.
"Ratusan juta sudah digelontorkan untuk museum ini. Komitmen kita adalah menyelamatkan, merawat dan mempublikasikan benda-benda tersebut sebagai bukti sejarah bahwa Aceh pernah gemilang di masa lalu."
Demikian kata Masykur Syafruddin, Pendiri sekaligus Direktur Pedir Museum saat diwawancara Dialeksis.com, Senin (28/10/2019), di hari Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-91.
Dilihat dari fisik, ucapan Masykur sungguh tidak sesuai dengan orang-orang seusianya. Pria kelahiran 5 Juli 1997 ini sudah mendirikan museum secara swadaya sejak duduk di bangku sekolah dahulu.
Dua tahun pertama sejak didirikan pada 6 Juni 2014 lalu, dia mengisahkan, ia harus melalui masa-masa sulit. Sebab harus mencari dan membeli naskah kuno dan benda-benda peninggalan sejarah Aceh dengan uang pribadinya.
"Padahal saya masih sekolah (MAN)," kenang milenial Pendiri Pedir Museum itu.
Tahun ketiga hingga saat ini, lanjutnya, Pedir Museum sudah dibantu 20 kolega. Beberapa di antaranya salah seorang dekan di UIN Sunan Kalijaga dan seorang profesor dari Singapura.
Beberapa koleksi peningalan sejarah di Pedir Museum. [Foto: IST]"Saat ini sudah 2.830 koleksi di Pedir Museum dan 460 di antaranya berupa naskah kuno," jelas pria yang masih berstatus mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry itu.
Pedir Museum terletak di Jalan Banda Aceh-Medan, Desa Blang Glong, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Museum ini juga dapat ditemui cabangnya di Jalan Bahagia, Desa Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh.
"Koleksi tertua berupa koin milik Khalifah Al-Ma'mun dari Khalifah Abbasiyah pada tahun 202 Hijriah atau sekitar 1200 tahun lalu usianya dan dua koin lainnya dari Konstantinopel, Romawi Timur pada Abad ke-12," tambah Masykur.
Koleksi di museum tersebut hampir 95 persen didatangkan dengan cara dibeli dan sisanya merupakan hibah masyarakat.
Kadang dalam sebulan, pihaknya bisa menghabiskan Rp25 - Rp30 juta untuk membeli naskah kuno dan benda-benda peninggalan sejarah.
"Intinya benda-benda itu kita selamatkan dari perdagangan artefak dan bawa pulang ke Aceh sebagai bukti bahwa daerah ini pernah berjaya di masa lalu," tuturnya.
Masykur hingga saat ini sudah menelusuri negara-negara Asean dalam mengumpulkan naskah kuno dan benda bersejarah di Pedir Museum.
Masykur memperlihatkan salah satu naskah kuno di Pedir Museum. [Foto: IST]Ia bahkan, pada Rabu (30/10/2019) hari ini, bertolak ke Turki. Selama dua hari disana, ia akan mempresentasikan beberapa koleksi Pedir Museum sebagai tanda bahwa Aceh dan Turki punya ikatan kuat di masa lalu.
Putra dari Syafruddin dan Nur Asia ini berpesan agar para milenial mulai menaruh kepedulian terhadap sejarah dan peradaban di masa lalu.
Sebab menurutnya jika generasi muda abai terhadap persoalan ini maka hilanglah bukti-bukti kejayaan negeri Serambi Mekkah ini pada masanya dahulu.
"Tidak cukup dengan bangga atas kegemilangan Aceh di masa lalu, tetapi milenial diharapkan ikut mempedulikan sekaligus memperjuangkan bukti kepingan sejarah itu agar terus dikenang anak cucu nanti," kata Masykur.
Dia menambahkan, "ini bukan sekedar persoalan masa lalu, tetapi persoalan hari ini dan masa yang akan datang."
Atas dedikasi Masykur menjaga budaya Aceh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh menganugerahkannya sebagai "Milenial Pelestari Warisan Budaya" pada malam Apresiasi Budaya yang diselenggarakan pada 25 Oktober 2019 lalu di Taman Seni dan Budaya Aceh di Kota Banda Aceh.
Begitulah perjalanan Masykur Syafruddin mengabdikan dirinya sebagai generasi muda untuk Aceh, untuk Indonesia yang sekiranya bisa jadi panutan bagi milenial lain.
Mengumpulkan keping demi keping sejarah tanpa kenal lelah. Tujuannya hanya satu, Aceh punya bukti sejarah kegemilangan di masa lalu dan kelak bermanfaat untuk dikaji atau sekedar dikenang di masa yang akan datang. (Sara Masroni)