Masa Pandemi Corona, Seorang Kontraktor di Aceh Beralih Jadi Pebisnis Melon
Font: Ukuran: - +
Agrowisata kebun melon di Kabupaten Aceh Besar milik Syarifuddin (IDN Times/Saifullah)
DIALEKSIS.COM | Aceh - Matanya terus menilik dan menyelia cucumis melo yang masih menempel di dahannya. Jari jemarinya begitu lincah membolak-balikan buah seukuran bola voli tersebut. Ketika larik telah dirasa membentuk motif jaring pada kulit buah jenis labu-labuan itu, lelaki berkumis tipis tersebut tak segan menebas pangkal ranting dengan alat pemotong yang sedari tadi bersembunyi di sarungnya.
Di bawah terik matahari yang hampir tepat berada di atas kepala, matanya masih melirik. Mencari buah yang masing bersembunyi pada ranting-ranting lainn. Lorong-lorong sepanjang lebih kurang 20 meter yang lebarnya tak sampai satu meter itu pun disusuri secara perlahan.
Beberapa pria lain juga tampak melakukan hal yang sama. Menilik lalu memetik buah di titik-titik lorong lainnya. Sebagian dari pria-pria yang mengenakan pakaian warna biru bertulisan ‘Agrowisata Melon’ di punggungnya, terlihat lalu-lalang sambil membawa troli berisi belasan buah melon segar.
Melon yang telah dituai dari pohonnya, kemudian dikumpulkan di satu titik tak jauh dari lahan perkebunan maupun barak kayu tempat beristirahat.
Di tempat tersebut, tersedia sebuah meja kayu berukuran dua kali empat meter dan juga satu unit timbangan yang digunakan untuk mengetahui bobot melon ketika dijual.
Begitulah gambaran aktivitas memanen melon yang dilakukan oleh Syarifuddin di lahan seluas lima hektar. Saban hari aktivitas ini dilakukan pria berusia 55 tahun asal Kabupaten Pidie, Aceh, tersebut bersama beberapa orang pekerjanya.
1. Menghasilkan 20 ton melon per hektare dalam sekali panen
Lima hektare bukanlah perkebunan yang kecil untuk ditanami tanaman melon. Syarifuddin mengaku dirinya harus menuai secara bertahap buah yang memiliki rasa manis tersebut selama 10 sampai 15 hari ketika waktu panen tiba.
Selama kurun waktu itu, Syarifuddin beserta anggotanya bisa menghasil 20 ton melon per hektare dalam sekali panen dari lima ribu batang.
"Kita panen secara bertahap. Satu kali panen biasanya 5 ribu batang dan hasilnya itu sekitar 20 ton," kata Syarifuddin.
2. Bereksperimen selama 15 tahun untuk mendapatkan melon dengan rasa terbaik
Membuka lahan perkebunan melon seluas lima hektar bukanlah ajang coba-coba. Syarifuddin atau lebih akrab disapa 'Uddin Melon' ini mengaku, jika dirinya telah bergelut di dunia budi daya buah jenis labu-labuan tersebut lebih kurang selama 15 tahun.
Selama itu pula, berbagai upaya telah dilakukan untuk memahami cara bercocok tanam yang baik untuk menanam dan menuai melon.
“Saya pengalaman menanam melon ini lebih kurang sudah 15 tahun. Saya beberapa kali mencoba hingga mendapatkan jenis varietas yang saya coba di sini jauh berbeda dengan daerah lain,” ujarnya.
Penanaman tak hanya dilakukan di tanah, buah dari daerah Mediterania itu pengembangannya juga dicoba dengan cara hidroponik. Hasil melon dengan metode budidaya tanaman tanpa tanah tersebut pun dikatakan Syarifuddin tak jauh berbeda kualitasnya ketika ditanam di tanah.
Melihat hasilnya bagus, rencananya pria yang pernah berprofesi sebagai kontraktor ini akan menyulap satu hektar dari sisa lahannya untuk ditanami melon.
“Ini sudah dua kali saya coba. Hasilnya cukup memuaskan dan ini kemungkinan akan kita kembangkan seluas lahan satu hektare dengan hidroponik,” imbuhnya.
3. Alih profesi akibat COVID-19, dari kontraktor menjadi petani dan membuka lapangan kerja
Pria yang mengaku pernah menempuh disiplin ilmu di bidang pertanian ini, awalnya adalah seorang kontraktor. Pandemik COVID-19 yang melanda Indonesia, termasuk Aceh, membuat Syarifuddin harus melepaskan profesinya tersebut.
Tepat empat bulan lalu, profesi yang telah membesarkan dirinya itu kemudian ia tinggalkan dan memilih fokus untuk bertani. Lahan kosong seluas lima hektar yang pernah luluh lantak disapu gelombang tsunami, diubahnya menjadi agrowisata kebun melon.
Dibukanya perkebunan melon ini dikatakannya, juga sebagai solusi untuk mengurangi pengangguran di Aceh karena dampak COVID-19.
"Dalam keadaan pandemik seperti saat ini, saya lihat banyak pengangguran sehingga saya berpikir untuk membuka lahan seluas ini. Jadi cukup banyak menampung tenaga kerja," kata Syarifuddin.
"Hingga saat ini lebih kurang ada 20 orang yang bekerja," tambahnya.
4. Bertani adalah investasi di kemudian hari
Menurutnya, bertani bukanlah usaha sambilan akan tetapi lebih kepada investasi yang menjanjikan. Banyak negara di dunia yang maju di bidang industri namun tetap menomorsatukan sektor pertanian.
Melihat itu hal itu, Syarifuddin berharap, langkah yang ia lakukan saat ini bisa menjadi contoh untuk masyarakat Aceh lainnya.
"Makanya kita kembangkan di sini agar menjadi contoh untuk masyarakat Aceh. Jangan dianggap pertanian ini pekerjaan yang hina," harapnya.
Adanya keinginan untuk memajukan pertanian Aceh, membuat pria yang telah lama menetap di Gampong Lamlagang, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh ini tak segan membagikan pengalamannya bercocok tanam melon. Terutama dengan metode hidroponik.
"Bukan hanya melihat dan merasakan, namun juga dapat mempraktikkannya di rumah sendiri."
5. Pengunjung bisa memetik sendiri buah melon, harganya juga terjangkau dan mendapatkan ilmu
Bukan hanya sekedar perkebunan biasa. Kebun melon milik Syarifuddin ini telah dijadikan sebagai salah satu agrowisata di Kabupaten Aceh Besar.
"Bagi warga yang ingin membeli melon di sini kami beri kebebasan. Dia bisa memetik sendiri, makan sendiri, dan timbang sendiri. Untuk harganya sangat terjangkau, antara Rp10-12 ribu," ungkapnya.
Buat para pengunjung ataupun calon pembeli yang ingin memetik buah melon langsung dari pohonnya, dapat datang langsung ke kebun melon milik Uddin Melon. Selain mendapatkan buah segar dengan harga yang terjangkau, pengunjung pun bisa memperoleh ilmu cara bercocok tanam melon.
[idntimes.com]