Kisah Usuluddin Buka Bisnis Kopi Modal Nekat, Kini Beromset Rp 200 Juta/Bulan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Indra Wijaya
Usuluddin di coffee shop miliknya, Kamis (13/2/2020). [Indra Wijaya/Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Matahari semakin terik. Seorang lelaki berbadan tinggi dengan rambut pendek dan mengenakan baju oblong duduk bersela di kursi rotan miliknya. Hari itu ia cepat membuka coffee shop miliknya. Dihari biasa ia buka warung pukul 14.00 WIB namun hari tampak cepat dari biasanya pukul 11.00 WIB.
Usuluddin (39) pemilik gerai kopi di kecamatan Syiah Kuala bernama Donya Drop Doruet. Mungkin penikmat kopi di luar tak asing dengan nama ini. Ia memulai usaha bisnis semenjak mengambil Srata Tiga (S3) di Taiwan. Pada masa itu ia memikirkan bisnis apa yang punya nilai jual dan daya minat yang tinggi.
“Setelah survei kecil-kecilan yang saya buat, saya lihat bisnis kopi ini sangat menguntungkan. Karena pasarnya itu global,” katanya.
Didirikan pada 26 Maret 2013, CV Donya Drop Doruet segera mengepakkan sayap. Usuluddin memulai bisnisnya di Taiwan. Pertama ia menawarkan sampel kopi Gayo miliknya untukk ditawarkan ke coffeshop di sana.
Perjalanan tak kunjung mudah katanya. Sampel yang ia tawarkan ke coffee shop di sana sering ditolak. Mereka banyak menanyakan tentang spesikasi kopi Gayo yang ia tawarkan.
Setidaknya ada 50 coffe shop yang ia tawarkan. Dari 50 toko tersebut, ia mendapatkan pesanan pertamanya. Ada 300 kilo biji kopi pesanan yang ia terima. Dan di tahun kedua ia menerima pesanan satu ton biji kopi.
Pada saat menerima pesanan tersebut ia tidak menyangka sebanyak itu dan banyak peminatnya. Ia mengatakan semasa mendirikan perusahaannya, ia hanya mempunyai modal Rp 600.000.
“Modal awal cuma Rp 600.000 khusus buat nama CV perusahaannya saja,” katanya. Dengan modal nekat tersebut, kini ada empat negara yang menjadi pelanggan tetapnya, yakni Taiwan, Jepang, Korea dan China.
“Waktu itu saya enggak punya modal. Modal saya cuma kepala dengkul. Jadi saya mencoba bermitra dengan teman yang ada di Takengon untuk menyuplai biji kopi,” tambahnya.
Wajahnya menerawang. Sesekali ia menyeruput kopi sanger yang di depannya. Menurutnya masa-masa tersebut merupakan masa yang sulit ia lupakan. Masa di mana hanya punya modal Rp 600.000 namun kini sudah beromset Rp 100 hingga Rp 200 juta per bulan.
Selain mengekspor biji kopi, ia juga mengimpor biji kopi dari Honduras, Brazil dan beberapa biji kopi dari negara lainnya. “untuk kopi dari luar saya ambilnya enggak banyak, hanya 20 kg saja,” katanya.
Sukses dengan bisnis ekspor kopinya, kini ia juga menjadi penyuplai mesin untuk membuat kopi dan juga bisnis kemasan kopi. Pada mulanya ia menjual bisnis kemasan tersebut via Facebook.
Berkat usahanya, pada tahun 2017 ia merasakan hasil yang telah ia rintis. Kini bisnis kemasannya (packging) telah mencakup seluruh nusantara. Untuk kemasan ini ia mengatakan para penjual kopi di Indonesia kebanyakan memesan dari dia.
"Kita jual kemasan yang premium. Jadi kalau dimasukkan biji kopi ke dalam, rasanya enggak berubah,” kata Usuluddin.
Penjual rokok asongan
Sebelum sukses seperti sekarang, ia pernah menjadi penjual rokok asongan disekiran kota Banda Aceh. Di tahun 2002 ia berangkat dari kampung halamannya Tapak Tuan untuk kuliah di Banda Aceh. Ia kuliah IAIN Ar-Raniry (sekarang Universitas Islam Negeri Ar-Raniry). Ia mengambil Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
“Dulu saya kuliah, ya kuliah aja. Enggak tahu mau ngapain. Saya lihat kawan saya kuliah semua, jadi saya kuliah juga,” katanya sembari tertawa.
Di Banda Aceh, ia tinggal bersama kakaknya. Dengan uang pas-pasan, ia berinisiatif menjadi penjual rokok asongan. Baginya penjadi penjual rokokpun tak masalah, yang penting ia mendapat uang tambahan lebih.
Tak hanya itu, ia juga membantu kakaknya membuat kue. Ia harus bangun jam lima pagi untuk bersiap-siap membuat dan langsung menjualnya. Tak ada rasa penyesalan ataupun rasa malu tersirat diwajahnya. Baginya pekerjaan tersebut menjadi pelajaran berharga baginya kelak.
“Jam lima pagi saya sudah bangun untuk bantu kakak saya buat kue. Namanya juga kita tinggal sama orang. Kalau untuk kakak saya enggak masalah. Tapi sama abang ipar saya. Kan enggak enak juga kalau saya cuma duduk santai aja,” kenangnya.
Jual botol bekas
Wajahnya terlihat geli saat menceritakan pengalaman membersihkan botol sirup (obat) bekas. Bau busuk lekat terasa katanya. Ia membersihkan botol bekas rumah sakit yang nantinya akan dijual kembali ke perusahaan.
“Botol bekas sirup (obat) rumah sakit itu berlendir. Bau sekali, lengket pula,” katanya.
Semasa kuliah, ia juga mencari uang tambahan dengan menjadi pegawai honorer di UPTD Dinas Pertanian. Di sini ia tidak mendapatkan gaji tetap. Akan tetapi untuk makan selalu ada.
“Kalau dia (pimpinan) kasihan, baru dia kasih gaji sedikit, yang penting makan aman,” ungkapnya.
Ia berpesan kepada pengusaha muda saat ini harus cerdas melihat peluang dan juga harus pandai mencari mitra bisnis.
“Jangan malu memulai usaha dari bawah. Dengan pengalaman yang sudah kalian punya, kalian lebih mudah dalam berwirausaha,” katanya.
Selain itu, ia melihat saat ini anak millenial gengsinya terlalu tinggi. Untuk menjadi seorang wirausaha, tentu gengsi harus dihilangkan terlebih dahulu. Tak masalah jika harus menjual martabakak atau kopi dijalan.
“Jangan berorientasi pada gaji yang besar. Tapi pas ditanya bisa apa kalian tidak bisa menjawabnya. Akan tetapi kalian harus pandai melihat peluang bisnis yang ada di sekitar kalian,” pungkas.
Begitulah sekilas perjalan seorang Usuluddin. Memulai kisah dengan modal nekat dan semangat. Dari pedagang asongan, sampai bisnis omset skala ratusan (Rp 200 jutaan). Kiranya perjuangan Usuluddin bisa jadi panutan bagi para milenial ke depan. (IDW)