kip lhok
Beranda / Sosok Kita / Irwansyah, Sosok Petani Milenial Berinovasi di Aceh Tamiang

Irwansyah, Sosok Petani Milenial Berinovasi di Aceh Tamiang

Jum`at, 05 Maret 2021 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Irwansyah didampingi Kadistanbunnak Aceh Tamiang, Yunus (kanan) dan Kabid Penyuluhan Azwanil Fachri (kiri). [Foto: For Dialeksis]


DIALEKSIS.COM - Walaupun sudah mendapatkan penghargaan sebagai penyuluh swadaya terbaik tingkat provinsi Aceh, ke depan dirinya ingin maju lagi melalui teknologi inovasi pertanian organik yang berguna serta bermanfaat bagi daerahnya.

Menurutnya, dunia pertanian saat ini masih saja dihadapkan pada berbagai persoalan mendasar, karena masih saja terjadi serangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Untuk itu, saat ini dia sekarang tengah mendampingi petani yang memiliki lahan seluas 0.5 hektare dengan beberapa perlakuan organik di desa Muka Sungai Kuruk, Seruway, kabupaten Aceh Tamiang.

Walaupun empunya lahan sudah tua, tapi lebih memilih Irwansyah yang berusia jauh lebih muda untuk memperbaiki lahannya. Alasannya kalau masih muda semangatnya masih tinggi dalam berinovasi dengan berbagai macam terobosan teknologi.

Semangatnya tak pernah pupus, sebagai penyuluh swadaya dia masih membutuhkan dukungan dari pemerintah terutama dalam hal pembinaan dan pendampingan agar menjadi lebih baik dan maju lagi ke depannya.

Pertanian masa lalu, kata dia memulai ceritanya, sangat berbeda dengan sekarang. Dulu petani setelah menanam padi atau cabai merah tidak pernah melakukan pemeliharaan dan merawat tanamannya dengan baik. Padahal untuk mendapatkan hasil terbaik, semua jenis tanaman memerlukan perhatian khusus dan perlakuan secara intensif.

Saat ini masih terganjal dalam benaknya untuk meneliti perbenihan padi yang sedang digelutinya. Waktu luangnya hanya dihabiskan untuk menyilangkan tiga jenis padi yaitu Lokal (Selamaya), Sertani/ Ngaos dan Rajasa (bulirnya panjang) dengan varietas unggul Inpari 32.

Menurutnya, Padi lokal Selamaya merupakan sebagai Sumber daya genetik yang harus dipelihara, berumur empat bulan dan memiliki ketahanan terhadap hama penyakit. Untuk itu, Ia ingin silangkan padi lokal agar lebih unggul. Dia berharap hasilnya nanti tentu akan lebih baik dan meningkat.

Inpari yang selama ini memiliki malai pendek katanya, bisa menghasilkan malai panjang dengan jumlah anakan yang lebih banyak serta tahan terhadap hama penyakit.

Selain membaca buku, hobinya disalurkan untuk belajar tentang perkembangan teknologi pertanian organik melalui channel YouTube.

Diibaratkan seekor sapi yang tubuhnya kecil jika dilakukan perkawinan silang dengan sapi Bali, akan melahirkan anak sapi yang unggul pula.

"Namun semua itu ada proses dan beberapa tahapan yang harus dilakukan, seperti halnya dengan tanaman,” bebernya.

Bakat peneliti pernah dilakukan waktu usianya beranjak remaja, dengan cara menanam padi ketan itam disebelah Utara, dan padi ketan putih lokal diletakkan sebelah Selatan. Penyerbukannya terjadi secara alami mlalui angin.

“Namun setelah ditanam kedua kali, hasilnya terjadi perubahan dari padi ketan itam, menghasilkan isi dalamnya berubah menjadi ketan putih,” sambungnya.

Walaupun biaya penelitian dilakukan secara mandiri, jika benihnya kelak bisa berproduksi tinggi, langkah pertama yang dilakukan yaitu membagikan benih tersebut kepada petani sekitarnya. Sementara belum mendapatkan sertifikasi, dia akan bagikan secara gratis.

"Karena niat saya hanya ingin membantu petani, agar hidupnya bisa lebih sejahtera,” katanya.

Saat ini saya sedang melakukan pengujian tahap ke empat (masih kecambah) setiap varietas padi ditanam dalam lima polybag, malai yang kurang sempurna, akan dibuang dan dipilih yang baik untuk ditanam kembali.

Terkadang kalau ada orang yang melihat dirinya aneh, dan pernah menyebutkan dirinya seperti orang gila, namun dia tetap tabah dan selalu bersabar, walau adakalanya merasa sedih.

“Itu buat apalagi apa sudah berat ya…gak ada kerjaan lagi?,” lirihnya.

Namun dia tidak menghiraukan, karena apa yang dia lakukan, semua sudah menjadi hobi dan semakin tertantang.

"Untuk mencari dan memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya, memang banyak cemoohan orang,” ujarnya.

Dalam benaknya sering terobsesi, kenapa di Jawa bertani organik bisa berhasil, sementara Aceh kenapa tidak? Padahal kita di sini memiliki lahan cukup luas, dan kenapa kita harus malas.

Kalaulah anak muda lainnya yang ingin mengikut jejaknya. Dia akan selalu bersedia, menyempatkan waktu berbagi pengalaman. Ada kawannya bernama Hendri, dulu dia belum tau makna bertani organik, kerjanya hanya pergi ke laut mencari udang/ikan saja. Namun seljak melihat dirinya menanam cabai merah dengan produksi tinggi.

“Maka tak sungkan-sungkan saya tularkan apa yang saya ketahui, sehingga sekarang sudah berhasil,” sebutnya bangga.

Bahkan, kalau dia tidak sempat datang menemui masyarakat, namun jika mereka datang ke rumahnya atau ke BPP juga dilayani sepenuh hati. Kalau sudah merasa manfaatnya, malah ada yang bawa makanan dan kopi. Namun semua dilakukan dengan ikhlas dan belum pernah menerima bayaran alias Gratis.

"Jika ada yang masih ragu dan belum yakin dengan produk pupuk organic yang saya buat, saya memberikannya gratis untuk dicoba," ungkapnya sambil promosi.

Dia bersyukur dengan terpilih dirinya sebagai penyuluh swadaya terbaik tingkat Aceh tahun 2020 dan mendapat hadiah laptop. Dia sangat berterimakasih katanya, kepada Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh yang telah memilih dirinya.

"Laptop tersebut saya manfaatkan untuk membuat layanan dan diskusi serta menjual produknya secara online,” pungkasnya.

Jika bulan Juli tahun ini keuar Ijazah paket C nya, cita cintanya akan melanjutkan studi ke jenjang strata 1, untuk menjadi sarjana.

Kuncinya hanya satu, kita harus menjalani semuanya dengan sabar dan tulus ikhlas semata hanya mengharapkan keridhaan Allah swt.

Dia mengajak petani milenial harus maju, mandiri dan modern tanpa mengharapkan bantuan pemerintah.

Menurutnya, penggunaan pupuk kimia di dalam tanah akan melemahkan tanaman itu sendiri. Hasil pengamatannya terhadap benih cabai yang diberikan pupuk kimia hanya mampu bertahan selama 3-4 bulan saja. Sementara dengan perlakuan non kimia (organik) bertahan hingga 1- 2 tahun.

Dicontohkannya seperti pada ternak ayam potong yang diberikan pakan kimia, memang bisa di panen dalam 1-2 bulan, tapi kalau ayam kampung yang diberikan pakan alami waktu dikejar masih mampu berlari kencang dan susah ditangkap.

"Dengan mengonsumsi makanan yang tidak mengandung kimia, maka tubuhnya akan semakin kuat dan tidak melemah,” bandingnya.

Begitu juga dengan tanaman, yang diberikan pupuk kimia waktu panen hasilnya banyak, namun tidak berkelanjutan hanya sementara saja.

Pada tanaman cabai merah yang dilakukan pupuk kimia dapat dipanen 2,5 bulan, namun yang pakai organik, panennya hingga berumur 3,5 bulan dan sepanjang masa hingga 1 sampai 1,5 tahun. Kalau pakai kimia masa panennya hanya selama 8 bulan sudah habis.

Dalam waktu dekat lahan di sebelah rumahnya seluas dua rante, akan dilakukan tumpang sari cabai merah dengan bawang.

Di akhir cerita, ia ingin belajar menguji sampel tanah desa Bangunrejo yang luasnya 100 hektar. Selama ini menggunakan full kimia, untuk dijadikan pembanding.

Disisi lain saat dihubungi, Kadistanbunnak berencana mengajak Irwansyah untuk pengenalan singkat di Laboratorium BPTP Aceh. Selain itu, berkeinginan juga untuk belajar tentang benih sumber di BPSB Aceh. Sehingga nantinya dapat menambah wawasan sambil melihat wajah Ibukota Serambi Mekkah dan ingin salat berjamaah di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. (AbdA)

Keyword:


Editor :
Jun

riset-JSI
Komentar Anda