DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Suasana haru menyelimuti Bandara Sultan Iskandar Muda, akhir Juli 2025. Dua belas pekerja migran Indonesia (PMI) asal Aceh yang dideportasi dari Malaysia menjejak tanah air. Di tengah kerumunan, tampak H. Sudirman, S.Sos. akrab disapa Haji Uma mengawal mereka hingga selamat ke kampung halaman. Pemandangan ini bukan kali pertama. Sejak duduk di DPD RI pada 2014, ia tak henti mendampingi warga Aceh di saat krisis, baik di tanah kelahiran maupun di rantau.
Pada Maret 2025, Haji Uma memulangkan MAR (21), pemuda Aceh Timur korban perdagangan orang di Laos. Ia menutup biaya tiket dari Bangkok hingga Kuala Namu dengan uang pribadi, lalu mengatur transportasi darat ke Aceh Timur.
“Alhamdulillah, akhirnya MAR kembali berkumpul dengan keluarga,” ucapnya.
Tak lama kemudian, ia menyelamatkan Safran (22) dari jeratan sindikat judi online di Kamboja. Haji Uma menyurati Menteri Luar Negeri, berkoordinasi dengan KBRI Phnom Penh, dan menasihati keluarga agar tidak membayar tebusan.
“Pengalaman menunjukkan, uang habis, korban tak pernah kembali,” tegasnya.
Baginya, membantu sesama Aceh di perantauan adalah panggilan moral. “Ketika mereka menghadapi kesulitan, kami terpanggil untuk membantu,” katanya. Tak heran, banyak warga menjadikannya sandaran saat kerabat di rantau tertimpa musibah.
Kepedulian Haji Uma meluas ke dunia pendidikan. Pada akhir 2022, ia memperjuangkan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk puluhan pelajar SMP dan madrasah di Aceh Timur dan Aceh Utara. Sebanyak 65 siswa menerima beasiswa hasil lobi ke kementerian terkait.
“Kita berharap ini menjadi penyemangat untuk meningkatkan prestasi,” ujarnya.
Meski tak semua usulan diterima, ia berkomitmen memperluas kuota, termasuk ke wilayah pantai barat-selatan Aceh. Bagi Haji Uma, membantu pendidikan anak Aceh adalah investasi jangka panjang.
Di bidang kesehatan, Haji Uma dikenal responsif. Kasus Fadil (44), buruh migran asal Pidie Jaya yang kecelakaan kerja di Malaysia, menjadi contoh. Ia mengatur pemulangan, menyiapkan ambulans di bandara, dan menanggung biaya pendampingan keluarga selama perawatan di RSUD Zainoel Abidin.
Ia juga vokal mengkritik pelayanan publik yang lalai, seperti puskesmas tanpa sopir ambulans siaga. “Petugas kesehatan memegang amanah besar. Kelalaian harus ditindak,” ujarnya.
Maret 2025, Haji Uma mengecam keras dugaan perampokan dan penembakan warga sipil oleh prajurit TNI AL di Aceh Utara. Ia mendesak proses hukum transparan dan hukuman maksimal di Mahkamah Militer.
“Pelaku berseragam pun harus dihukum seadil-adilnya,” katanya.
Ia juga kerap mengawal kasus jurnalis, dugaan korupsi dana desa, dan perlindungan penerapan syariat di Aceh. Sikapnya tegas: hak rakyat kecil harus dibela.
Haji Uma termasuk suara lantang menolak rencana pembangunan empat batalyon TNI baru di Aceh jika tak dikaji matang. Ia mengingatkan pemerintah pusat soal MoU Helsinki dan kondisi keamanan Aceh yang kondusif. “Lebih prioritas memperkuat pembinaan teritorial dan ekonomi,” tegasnya.
Ia juga mengkritik UU No. 23/2014 yang dinilai memangkas kewenangan Aceh. Menurutnya, otonomi khusus kini “tinggal simbol”. Ia menolak wacana gubernur ditunjuk pusat, menyebut hal itu mencederai demokrasi dan perjanjian damai.
Di usianya yang ke-50, Haji Uma tetap aktif pada periode ketiga di DPD RI. Latar belakangnya sebagai seniman dan dai membuatnya dekat dengan masyarakat, namun mampu berbicara lantang di Senayan. Ia hadir saat rakyat butuh, membawa aspirasi dari gampong ke forum nasional.
Bagi warga Aceh, Haji Uma bukan sekadar senator, melainkan pengayom dan pejuang yang selalu bisa diandalkan. “Kepedulian seperti ini harus terus dijaga dan diwariskan,” ujarnya. Loyalitasnya menjadi teladan bahwa politik bisa dijalankan dengan hati nurani.