DIALEKSIS | Banda Aceh - Jika kita bicara tentang pahlawan Aceh di luar negeri, nama Hasan Tiro mungkin yang paling pertama terlintas. Namun, ada satu nama lagi, seorang putra Aceh dari Meureudu, Pidie, yang jasanya tak kalah besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namanya Charles Bidien. Ia tidak mengangkat senjata, tapi menggunakan pena, diplomasi, dan kecerdasan untuk menggebrak New York.
Kisahnya, yang nyaris hilang dari buku sejarah, adalah bukti bahwa kecerdasan dan lobi politik bisa jadi senjata paling ampuh.
Dari Pedagang ke Diplomat di Jantung Amerika
Charles Bidien lahir di Aceh pada awal abad ke-20 dan merantau ke Amerika Serikat pada dekade 1920-an. Di sana, ia tidak hanya bertahan hidup, tapi juga membangun jaringan dengan kalangan akademisi, jurnalis, dan aktivis yang menentang kolonialisme. Ia sadar, kemerdekaan Indonesia tidak cukup diperjuangkan di medan perang. Perlu juga dukungan dari dunia internasional.
Ia memilih jalur diplomasi. Senjatanya bukan lagi rencong, melainkan pena. Bidien menjadi editor majalah Indonesian Review, sebuah publikasi berbahasa Inggris yang terbit di New York. Lewat majalah inilah, ia menyajikan berita, analisis, dan opini yang bertujuan meyakinkan publik Barat bahwa Indonesia layak merdeka dan berdaulat. Ini adalah diplomasi tingkat tinggi, yang ia jalankan dari perantauan.
Aksi Boikot Heroik dan Jaringan Global
Kecerdasan Bidien tidak hanya terbatas pada tulisan. Ia juga seorang organisator ulung. Pada masa perjuangan, ia memimpin aksi boikot yang berhasil menahan sebelas kapal Belanda di pelabuhan New York. Kapal-kapal ini seharusnya mengangkut perlengkapan perang untuk menjajah kembali Indonesia.
Aksi ini menunjukkan betapa besar pengaruhnya, mampu menggerakkan para buruh pelabuhan di Amerika untuk bersolidaritas dengan bangsa Indonesia.
Tak hanya itu, jejaknya juga terekam dalam surat yang ia kirimkan kepada W.E.B. Du Bois, tokoh besar gerakan hak sipil di Amerika. Dalam surat itu, Bidien secara cerdas menyambungkan perjuangan anti-kolonial Indonesia dengan gerakan hak sipil global, menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari perjuangan universal melawan penindasan.
Sisa Kisah yang Pahit
Sayangnya, setelah Indonesia merdeka, jasa-jasa Charles Bidien seolah ikut terkubur. Ia kembali ke tanah air dan hidup terlunta-lunta. Pahlawan yang berhasil membendung kekuatan kolonial di Amerika itu, kini hanya seorang pedagang kaki lima di Jakarta. Kisahnya berakhir tragis, ketika ia ditemukan meninggal dunia dalam kesendirian.
Kematiannya menjadi pengingat yang menyakitkan: sejarah terkadang terlalu sibuk mencatat nama-nama yang memegang senjata, dan lupa pada mereka yang berjuang dengan pena dan pikiran.
Bagi kita, generasi muda Aceh, kisah Charles Bidien adalah cerminan. Ia menunjukkan bahwa perjuangan bisa dilakukan dari mana saja. Perjuangan itu bisa dilakukan dengan kecerdasan, bukan hanya kekerasan. Dan yang terpenting, ia mengingatkan kita untuk tidak melupakan para pahlawan yang jasanya tidak tercantum dalam buku-buku sejarah. Merekalah mutiara-mutiara yang bersinar terang, meski di tengah kegelapan.
Semoga Pemerintah Aceh dapat mengambil inisiatif untuk mengabadikan nama Charles Bidien, agar kisahnya tidak lagi menjadi rahasia yang terpendam, dan kita bisa bangga menyebut namanya, bersama dengan pahlawan-pahlawan Aceh lainnya. []