Kamis, 31 Juli 2025
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Semangat Pemuda Aceh Utara Menghidupkan Kembali Pusaka Rencong Aceh

Semangat Pemuda Aceh Utara Menghidupkan Kembali Pusaka Rencong Aceh

Rabu, 30 Juli 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Nahlil muktawali, Owner Nahlil Galeri pusaka Aceh. [Foto: Dokumen Nahlil untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah gempuran zaman digital dan budaya yang menjauhkan generasi muda dari akar tradisinya, seorang pemuda dari Nisam, Aceh Utara, memilih jalan berbeda.

Namanya Nahlil Muktawali. Ia bukan hanya berdagang, tetapi sedang menghidupkan kembali salah satu ikon paling khas dari identitas rakyat Aceh yaitu rencong.

“Kalau kita lihat budaya di luar Aceh seperti Bugis dengan badik-nya dan Jawa dengan keris-nya, mereka sangat bangga pada pusaka sendiri. Tapi Aceh, Kita hanya bangga pada sejarah, bukan pada pusaka itu sendiri,” ujar Nahlil dalam perbincangan dengan media dialeksis.com di Nisam, Aceh Utara, Selasa (29/7/2025) malam.

Keresahan Nahlil muncul dari pengalaman langsung di lapangan. Ia mengisahkan satu momen menyedihkan saat sedang menjaga stan pameran rencong.

“Waktu itu ada anak kecil lewat bersama ibunya. Mereka nanya, ‘Apa ini, Mak?’ Lalu si ibu menjawab, ‘Itu rencong, Nak.’ Saya sedih sekali. Anak-anak Aceh tak tahu rencong lagi,” kisahnya lirih.

Menurutnya, kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Di beberapa wilayah yang dulunya dikenal sebagai sentra perajin rencong seperti Bireuen dan Pidie, para empu pembuat rencong telah wafat dan tidak ada generasi penerus.

Perjalanan Nahlil membangkitkan kembali ruh rencong tidak mudah. Waktu awal-awal jualan dan promosi, ia sering dicemooh.

"Banyak yang bilang, ‘Untuk apa jual beginian?’” kenangnya.

Pusaka atau senjata tradisional khas Aceh, Rencong. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]

Namun semua berubah saat ia beralih memasarkan produknya melalui TikTok pada pertengahan 2023. Platform itu, yang awalnya diragukannya, justru membuka pintu-pintu baru.

“Saya sempat dibanned di Facebook karena dianggap menjual senjata tajam. Tapi setelah pindah ke TikTok, akun saya tiba-tiba FYP. Dari situ pesanan berdatangan, dan akhirnya banyak yang diarahkan ke WhatsApp,” kata Nahlil dengan senyum tipis.

Kini, bisnis yang dinamainya Nahlil Galeri Pusaka Aceh tidak hanya melayani pembeli lokal. Pesanan datang dari seluruh Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri.

“Yang paling rutin itu Malaysia. Dalam sebulan, bisa dua kali kirim ke sana. Pembeli juga banyak dari Jakarta, Riau, Kalimantan, Sulawesi, NTB, hingga Papua. Dan lucunya, sebagian besar tetap orang Aceh, baik yang tinggal di luar maupun yang bekerja di instansi seperti TNI, Polri, atau PLN,” ujar Nahlil.

Nahlil tidak hanya menjual satu jenis rencong. Ada rencong meucunggek (rencong laki-laki) yang memiliki bengkokan khas di atas, rencong pudoi (rencong betina) dengan gagang bulat polos, hingga rencong meupuree, rencong dengan ukiran rumit berupa binatang, bunga pik, bunga matahari, awan meusambong, bahkan kaligrafi kalimah tauhid.

“Yang paling langka itu pakai tanduk kerbau bule jagat. Dulu malah ada dari gading dan emas, tapi sekarang sudah dilarang,” jelasnya.

"Harganya bervariasi mulia dari harga 230 ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah," ujarnya.

Bahan gagang dan sarung umumnya berasal dari kayu pilihan seperti meubau, geurupai, dan tanduk kerbau”terutama tanduk betina yang lebih padat.

Tak hanya rencong, Nahlil juga menawarkan siwah raja, pusaka khusus yang dulunya hanya boleh dimiliki oleh para raja, uleebalang, dan pejabat tinggi kerajaan.

Lebih dari sekadar menjual, Nahlil aktif menyosialisasikan rencong ke generasi muda, termasuk lewat pameran-pameran yang diadakan oleh Dispora dan pemerintah daerah.

Ia bahkan mendapat binaan dari PLN Aceh Utara dan pelatihan UMKM demi menata bisnisnya secara profesional.

“Harapan saya sederhana, supaya anak muda Aceh lebih peduli dan mau belajar tentang rencong. Ini bukan cuma senjata, tapi simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah. Rencong itu marwah kita,” tegasnya.

Namun Nahlil juga berharap ada intervensi nyata dari pemerintah, khususnya dalam hal alat produksi.

"Kalau terus pakai cara tradisional, sangat lama. Kalau ada mesin pembuatan khusus, pasti akan lebih efisien,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI