Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / Lika - liku Cinta dan Situs Rindu

Lika - liku Cinta dan Situs Rindu

Rabu, 12 Desember 2018 22:32 WIB

Font: Ukuran: - +


(Dzikir Kutulis Namamu di Batu) 

Oleh Hamidin Krazan

Membaca Kutulis Namamu di Batu (KNdB), menemukan lika-liku cinta dan situs rindu. Mengapa cinta dan rindu? Sebab di KNdB ditemui jejak-jejak cinta beraneka warna. Cinta dengan bermacam perhelatan. Cinta sarat perjuangan. Baik yang telah hingga yang masih dilakoni. Rincian wajah cinta banyak jenis. Seiring tempaan waktu semakin jumlah tak terhitung jari. Menyatu dalam wadah jiwa baik yang masih eksis, ada yang bersenyawa, tumbang tinggal kenangan, lepas di kehampan, bahkan bermetamorfosa. Cinta menjelma rasa yang tak diimpikan keberadaannya.

Apapun rupanya, cinta niscaya menyemai rindu. Cinta ibarat sebatang pohon dan rindu laksana jejamur musim penghujan. Jamur dengan aneka kandungan zatnya. Keduanya bisa saling menguntungkan, dapat sejalan tapi tidak berdapak konflik, juga bis terjadi jalinan erat mendalam, atau hubungan yang parasitistik.

Dari muara rindu dan musabab cinta itu, teralirilah sekian alur sajak hasil olah yang sungguh-sungguh dari karsa, rasa dan olah cipta penulisnya (penyair). Perhelatan itu dapat kita simak melalui PADAMU (Eve Fuji Astuti), /tersenyumku penuh menyemai cintamu/ Candu rindu yang mengkalbu menjalar syahdu/ (hl. 31). Kesejukan ruang rindu kentara terlukis dalam ASA (Euis Susilawati Dua) /Biarlah rinduku rindumu terbungkus rimbunnya embun pagi/ (hl. 34). Jalinan cinta erat diwakilkan pada DIA, /Dua bidadari mungil/ adalah puisi kongkrit cinta tulusmu/ Lelakiku/. (hl. 35)

Melalui media sajak KNdB pula telah tercetak karnaval banyak 'nama' yang terprasasti di batu bermacam makna. Sebagaimana dikatakan kurator Putra Gara (Budayawan), katanya, "Setiap penyair punya sudut pandang tersendiri tentang sebuah nama yang diabadikannya dalam untaian kata." (hl. 4). Nama segala ada yang bernama, nama simbolik hingga nama Maha Mulia Segala Asma-Nya. Semua itu nyata dapat dicerna seperti pada HIKAYAT HADJI GODJALI, SAJAK KEPADA TAN (Adul Aziz), KENANGAN CINTA; kepada Rindu Leonsino (Asep Setiawan), PUISI RINDU UNTUK CAK NUN (Banyu Segara Pantura), KEBUN RAYA (Giyanto Subagyo), GUS DUR, AKU RINDU (Najibul Mahbub), PASANGGRAHAN (Jajang Suryana), LELAKI PEMETIK DOA (Maryati Sukendar), WAJAH DALAM PiGURA (Rintanalinie GP), MAS IS, NAMAMU TERPATRI DI DALAM HATIKU (Tri Widiastuti), LELAKI BERMATA API Jam Pieterzoon Coen (Yahya Andi Saputra). Di balik nama juga terpapar kisah tak sekedar bermuatan cinta dan rindu belaka. Ada informasi seputar wilayah ruhani dan prosa singkat tapi dramatik, seperti pada empat nama: SUMIATI, DENOK, ZULEHA, KOKOM (Wildan Chopa).

 Titik fokus dalam sudut pandang pun memiliki kedalaman privasi yang variatif. Hal itu dapat diselami melalui lintasan ruang, waktu dan kadar kedahsyatan kejadian yang menjadi bingkai cerita. Seperti mengarungkan empati pada TRAGEDI LIMA TAHUN (Ade Novi) /langkah kakimu/ Meninggalkan jejak luka/ Bersembunyi pada malam/... liukan rasa seperti orkesta gudah pada DELAY (Winn Suhadi) /Riuh jogja/ seperti hatiku yang gemuruh/ ... /satu dua pemeriksaan kulalui/ dan satu pemberitahuan datang/ penerbangan dituda/... sehingga, HARAPAN DI ATAS BATU (Dian Rusdi) /Kutulis namamu di atas batu/ bersama impian-impian kita yang belum jadi/...

Pernyataan cinta, rindu dll di batu menjadikannya kaya definisi. Setiap penyair mengukir menjadi rupa-rupa obyek dan beragam ibrah. Sebagaimana ditulis Penyair Nasional, Nanang R Supriyatin, "masing-masing penyair memiliki persepsi yang berbeda saat mendeskripsikan tentang sebuah nama yang ditulis di batu. 'Nama' dan 'batu' bisA saja memiliki makna dalam." Selaku kurator Nanang RS berharap, melalui kepekaan dan keberanian dalam mengungkapkan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa; penyair baiknya piawai menyimbolkan hal yang sakral menjadi mistis, maka kedua kata tersebut setidaknya dapat menjadi sejarah saat diprasastikan dan diperlihatkan kepada generasi yang hidup kemudian.

Aku terdiam setelah dua tiga kali mengeja AKU BATU (Nanang R Supriyatin) semula aneka kodrat batu menjadi obyek, dalam puisi penyair senior ini penikmat sajaknya diajak untuk meletakkan daya hidup kita merasuk ke batu, sehingga menjadi subjek dan lugas mengutarakan jatidari 'batu' yang tiada membeda drajat pangkat jasad kemanusiaan. Semua diistirahkan dalam level yang setara dan perlakuan sama di hadapannya, /Aku batu/ kutulis namamu di tubuhku/kujaga kesetiaanmu/..../bukan karena engkau punya nama/ serendah-rendah hidupmu/ kujadikan kau abadi dalam kerahasiaanku/...dst.

Begitu juga makna nisan yang dijadikan simbol kerinduan. Ini pun pernyataan berani. Siapa manusia yang ingin mati? Nyatanya, ada pernyataan rindu pada ajal yang didedar dengan bahasa mesra segenap rasa. BERITA BURUNG: rindu padanya (Nina Suminar) /aku menanti burung/ yang lagunya membawa pesan itu/... /biarlah kurias wajahku/...agar kau berkenan memanggilku/.... sebagai penutup keasyikan menjelajah situs Rindu dan Cinta melalui wisata baca KNdB, kita wajib belajar, bagaimana agar cinta abadi? Ahmad Setyo mengurai rahasianya dalam SEBISIK SENJA .../sebisik senja/ kutatap cakrawala/ kupeluk moleknya/:cinta//. Wassalam


Keyword:


Editor :
Jaka Rasyid

riset-JSI
Komentar Anda