kip lhok
Beranda / Gaya Hidup / Seni - Budaya / [Cerpen] Chofidah dan Covid 19

[Cerpen] Chofidah dan Covid 19

Senin, 12 Oktober 2020 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Nur Janah Al Sharafi atau yang lebih dikenal dengan Nur Janah Nitura


DIALEKSIS.COM  | Namaku Chofidah, aku tak tahu persis mengapa orangtuaku memberikan nama itu padaku. Jika kutanyakan pada abah dan ibu , mereka berdua selalu mengaitkan nama itu dengan kata hafidzah yang bermakna perempuan penghafal Al Qur'an. Tapi antara Chofidah dengan Hafidzah adalah dua kata yang berbeda. Jika kata itu benar berasal dari bahasa Arab, tentu akan lebih jauh lagi perbedaannya. 

Bukankah perbedaan satu huruf dalam bahasa Arab dapat membawa dampak pada maknanya yang jauh berbeda. Semakin aku dewasa dan belajar, semakin aku tergerak ingin membuka tabir makna namaku. Namun tetap saja tabir itu makin gelap. Google Search Engine yang katanya pintar dan memuaskan itu tetap saja tak mampu membuka tabir misteri ini.

Sejak kecil hingga aku menikah, punya anak bahkan cucu tetap saja orang memanggilku dengan panggilan Chofid, nak Chofid, dik Chofid, kak Chofid, mbak Chofid, tante Chofid, bunda Chofid, ibu Chofid, Sis Chofid, Bulik Chofid, Bude Chofid, Nyakwa Chofid, Uwak Chofid, Oma Chofid, jiddah Chofid, Eyang Chofid atau entah apalagi. Jelasnya di ujung panggilan tersebut tetap ada tertulis maupun terucap...... Arti nama Chofid. barangkali tidak mengapa, karena nama Chofid tetaplah Chofid . Tanpa ada makna ganda, apalagi makna yang menyeramkan terkait dengan kata-kata keramat pilihan kedua orangtuaku.

Namun segalanya berubah ketika sosok itu hadir, sosok misterius yang bernama virus Covid-19. Awalnya aku hanya menyimak betapa virus Covid-19 (1) ini berbahaya bahkan telah banyak makan korban. Berita atau data di WA Grup, sosial media, surat kabar dan sebagainya hanya sekilas kubaca tanpa adanya keseriusan untuk menelaah data tersebut. Hal ini termasuk informasi tentang gejala yang dialami oleh penderita Covid-19 (2) . 

Kupikir si Covid-19 yang dari Wuhan itu tak akan datang ke negriku , Nusantara. Pelan namun pasti ia makin mendekat hingga ia memasuki pintu gerbang kota tempat tinggalku, Kutaraja. Melakukan pemeriksaan ketat di perbatasan hingga memberlakukan jam malam pernah dilakukan di kawasan kota tempat tinggalku itu. Namun entahlah, makin lama virus itu makin ingin eksis dan mencari panggung di hampir setiap sudut negri. Masih saja aku , Chofidah alias dik Chofid tak terusik. Hari-hari bagiku adalah hari-hari penuh kesibukan baik kesibukan pekerjaan, rumah tangga maupun sosial.

Hari itu aku benar-benar shock, abang suamiku sakit secara mendadak. Mual dan muntah seperti berlomba tiada henti. Isi perut nyaris habis ketika muntah itu memaksa unjuk gigi. Berapa kali isi perutmu keluar, berapa kali pula hatiku teriris. Setiap keluhanmu adalah deritaku bang. Mungkin itu yang namanya cinta, atau cinta yang lebay kata orang. Jelasnya aku tak pernah bisa membiarkanmu menderita.

"Dik Chofid, kenapa ya abang mual dan ingin terus muntah?" keluhmu padaku.

"Dik Chofid, ke sinilah pegang tangan abang. Abang khawatir jika kondisi abang begini terus," keluhmu kembali.

Aku ajak abang ke rumah sakit tak mau, hingga akhirnya abang memilih minum obat yang biasa ia konsumsi jika gejala seperti itu datang. Abang belum juga pulih, namun kini justru aku yang teriris perih. Mengapa? Aku jadi rajin mencari di Google tentang virus Covid-19 ini yang ternyata salah satu gejala yang muncul adalah rasa mual dan muntah.

"Bang, kita swab (3) test ya bang. Semoga saja tidak, namun melihat abang yang terus-terusan mual dan muntah, kita mesti lebih waspada karena itu juga salah satu gejala Covid-19," pintaku pada abang.

Akhirnya aku dan abang tes swab, meski sedikit sakit rongga hidung kami namun kami yakin ini adalah nyala lilin yang mesti kuhidupkan agar lebih jelas dan gamblang apa sebenarnya yang terjadi. Dua hari menunggu hasil tes swab benar-benar menyiksa. Kondisi abang makin parah, namun tetap saja ia tak mau ke dokter sebelum hasil tes swab keluar. Aku sendiri merasa baik-baik saja, meski kemudian daya penciumanku menurun tajam. Kupikir ini hanya akibat demamku beberapa hari yang lalu yang dibarengi dengan pilek dan batuk kecil. Penyakit yang biasa kualami, buatku yang mempunyai riwayat alergi.

Tetiba masuk pesan yang tak biasa di ponselku. Pesan dari Laboratorium, tepatnya hasil tes Swab. Abang negatif dan aku positif. Aku bahagia orang yang kucintai bebas dari virus itu, namun aku juga duka karena aku Chofidah telah disusupi oleh Covid-19 secara tak terduga. Air mataku meleleh, ponselku basah bajuku juga basah. Tak terasa sekian hari aku merawat abang yang sakit , ternyata aku juga sakit . Sakitku sakit misteri, misteri virus yang tetap saja menyimpan baying-bayang teka-teki.


"Dik Chofid, jangan menangis. Abang sedih melihat bulir-bulir air matamu. Lebih sedih lagi karena abang tak bisa menghapus air matamu apalagi memelukmu," ucap abang.

Kata-kata yang tulis dari sosok laki-laki yang kupilih untuk menjadi suamiku. Laki-laki itu benar-benar tulus ungkapkan isi hatinya. Aku dan abang berpisah kamar, berpisah piring dan gelas, bermasker di rumah dan duduk jauh berjarak. Tubuhku dan abang terpisah jarak, meski jiwa kami meronta dan menolaknya. Sekedar mengirim pesan cukup membuat dahagaku terobati ("abang aku kangen" dan terbalas "dik Chofid, abang juga kangen"). Hal itu membuat hatiku berbunga-bunga, bunga hatiku merekah merah dan cerah. Bahkan rona bunga bahagia itu membersit di pipiku tanda bahagia.

Hari-hari isolasi mandiri di rumah kunikmati dengan sepenuh hati. Chofidah mesti berdamai dengan Covid, begitu tekadku. Berkotak obat herbal Arab maupun China, buah-buahan, vitamin dikirm oleh anak-anakku. Aku sengaja tak hendak cerita pada siapapun teman atau sahabat, aku tak sanggup saja menampung pertanyaan di saat-saat aku butuh istirahat total. Tekadku untuk bercerita, ketika aku insyaaAllah bisa berdamai dengan Covid-19 ini.

Namaku Chofidah, jurus pertama yang kuambil adalah jurus ikhlas dan tawakal kepada Allah swt. Setiap titik taqdir adalah sebuah keniscayaan, ia tidak hadir begitu saja melainkan telah termaktub di Lauhul Mahfudz. Ikhlas hamba menerima setiap taqdirMu, begitu tekadku dalam hati. Keikhlasan ini justru berbuah manis, karena setiap detik ketika tubuh dan jiwaku menyambut tamu yang bernama Covid-19 ini justru menghasilkan enegi positif.

Namaku Chofidah, jurus kedua yang kuambil adalah Husnuzon kepada Allah swt. Husnuzon membuatku merasa bahwa Allah SWT menghadirkan virus Covid-19 untukku bukanlah tanpa arti. Aku yakin ada pembelajaran luar biasa yang bisa kupetik agar aku makin taat dan dekat kepada Alah swt dan agar agar aku makin rajin berkarya dan berbagi selama aku masih diberi kesempatan bernafas di dunia-Nya.


Namaku Chofidah, demikian memang namaku. Aku ceritakan kembali perjamuanku bersama Covid-19.Perjamuan dua mahluk Allah SWT, Chofidah dan Covid ..........................


Bersambung ...........................................

Penulis

Nur Janah Al Sharafi atau yang lebih dikenal dengan Nur Janah Nitura Psikolog Aceh 





Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda