DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bahasa Kluet, yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat di Kecamatan Kluet Raya, kini mulai kehilangan pamornya. Di tengah derasnya arus globalisasi, generasi muda semakin jarang menggunakan bahasa ibu mereka sendiri, bahkan di rumah dan lingkungan sekitar.
Meskipun begitu, masih ada beberapa daerah yang menggunakan bahasa Kluet, seperti Kluet Tengah, Kluet Timur, dan Kluet Utara. Namun, peminatnya pun mulai menurun, dan penggunaannya perlahan mulai tenggelam di tengah dominasi bahasa Indonesia dan bahasa gaul yang lebih sering digunakan oleh generasi muda.
Fenomena ini membuat banyak kalangan prihatin, termasuk Rizka Khairil Munadi, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Syiah Kuala (USK). Ia menilai bahwa perubahan gaya hidup dan pengaruh teknologi telah membuat bahasa daerah tersisih dari keseharian masyarakat.
“Sekarang anak muda lebih sering pakai bahasa Indonesia atau bahasa gaul di media sosial. Akibatnya, bahasa Kluet mulai jarang terdengar. Kalau ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin bahasa kita sendiri akan punah,” ungkap munadi, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, kurangnya kesadaran masyarakat dan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai kebanggaan terhadap bahasa daerah juga turut memperparah keadaan. Ia menegaskan bahwa pelestarian bahasa Kluet harus dimulai dari lingkungan keluarga.
“Kalau orang tua tidak lagi menggunakan bahasa daerah di rumah, anak-anak pun tidak akan terbiasa. Padahal dari sanalah proses pewarisan bahasa dimulai,” tambahnya.
Mahasiswa asal Aceh Selatan itu juga mengajak generasi muda untuk menghidupkan kembali bahasa daerah melalui kegiatan kreatif, seperti menulis puisi, membuat konten digital, atau festival budaya lokal.
"Baso idik oyakno sebage alat mecerok,tapi identitas kito kak kluwat.mene oyak kita ise tengo?kito harus banggo dengon baso kluwat no. Bahasa itu bukan cuma alat bicara, tapi juga identitas. Kalau bukan kita yang menjaga bahasa Kluet, siapa lagi? Kita harus bangga dengan bahasa sendiri,” tegas munadi.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan budaya luar yang terus masuk, suara-suara seperti Munadi menjadi pengingat bahwa bahasa daerah bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga bagian penting dari jati diri bangsa yang harus dijaga agar tetap hidup di masa depan. [*]