DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala (USK) melaksanakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat bersama Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Aceh Besar sebagai upaya mewujudkan pemilu yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.
Kolaborasi itu diwujudkan melalui kegiatan Forum Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Yayasan Pembina Anak Cacat (YPAC) Santan, Aceh Besar, Sabtu (8/11/2025).
Koordinator Prodi Ilmu Politik FISIO USK, Novita Sari, mengatakan kegiatan kolaboratif ini memiliki tujuan strategis untuk memastikan terpenuhinya hak-hak politik penyandang disabilitas dalam setiap tahapan pemilu.
“Kegiatan hari ini bertujuan untuk benar-benar memenuhi hak-hak politik penyandang disabilitas. Kita ingin kebutuhan mereka terakomodir, terutama dalam pembaruan Undang-Undang Pemilu ke depan,” ujar Novita Sari.
Menurutnya, hasil FGD ini tidak berhenti pada tataran diskusi, tetapi akan ditindaklanjuti dalam bentuk keluaran akademik.
“Output-nya nanti dapat berupa jurnal ilmiah dan policy brief yang disusun oleh dosen Ilmu Politik. Dokumen itu akan kita serahkan kepada para pemangku kebijakan untuk dapat menjadi acuan dalam peningkatan kualitas demokrasi,” jelasnya.
Perwakilan Bawaslu Aceh Besar, Safriadi Ibrahim, menyoroti masih rendahnya aksesibilitas bagi pemilih disabilitas dalam memperoleh informasi dan fasilitas pemungutan suara.
“Banyak dari mereka yang kesulitan mengakses informasi tentang tata cara memilih, siapa calon yang akan dipilih, bahkan lokasi TPS. Ini pekerjaan rumah bagi kita semua,” katanya.
Safriadi berharap pada Pemilu 2029 nanti, sosialisasi kepada kelompok disabilitas bisa dilakukan secara lebih masif dan langsung.
“Kita harus masuk ke sekolah-sekolah luar biasa dan melakukan edukasi langsung, agar mereka tidak terpinggirkan dari proses demokrasi,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu, perwakilan KIP Aceh Besar, Rahmat, menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya, termasuk hak untuk dipilih. Ia mencontohkan sosok Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai bukti bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang untuk memimpin.
“Negara ini sangat ramah terhadap disabilitas. Bahkan pernah dipimpin oleh seorang penyandang disabilitas. Jadi, mereka harus bangga menjadi bagian dari bangsa ini,” ucap Rahmat.
Ia juga menyinggung pentingnya aturan pendampingan bagi pemilih disabilitas di tempat pemungutan suara (TPS).
“Pemilih disabilitas berhak didampingi, namun pendamping wajib menjaga kerahasiaan pilihan mereka. Idealnya, pendamping berasal dari keluarga agar komunikasi lebih mudah,” tambahnya.
Melalui sinergi antara perguruan tinggi, lembaga penyelenggara, dan pengawas pemilu ini, diharapkan pelaksanaan Pemilu mendatang dapat lebih inklusif, adil, serta membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi penyandang disabilitas di Aceh. []