Untuk Jalan Tengah, Mualem Disarankan Ambil Safaruddin sebagai Cawagub
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kendati Ketua Tim Panitia Seleksi (Pansel) Calon Kepala Daerah (Cakada) Partai Aceh (PA) telah mengumumkan Fadhlullah (Dekfad) sebagai bakal calon Wakil Gubernur Aceh yang akan mendampingi Muzakir Manaf (Mualem) pada Pilkada 2024, keputusan tersebut tampaknya belum final.
Penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk seribuan ulama Aceh. Bahkan, ulama karismatik Abu Paya Pasi mundur dari jabatan Dewan Penasehat PA, Ketua Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Tuha Peut Wali Nanggroe, sebagai bentuk protes.
Fadhli Irman, pemerhati sosial politik Aceh sekaligus Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), menilai bahwa keputusan ini berisiko besar bagi peluang kemenangan Mualem di Pilkada 2024.
“Dekfad dianggap tidak representatif dan tidak mampu mewakili semua pihak. Keputusan ini bisa menjadi bumerang bagi Mualem, membuka jalan bagi kekalahan kedua kalinya di Pilkada,” ujar Irman dalam wawancara dengan media, Senin, 19 Agustus 2024.
Irman menjelaskan, ketidakpuasan masyarakat terutama muncul dari kawasan Barat Selatan dan Tengah Tenggara Aceh, yang merasa tidak terwakili. Keduanya, Mualem dan Dekfad, sama-sama berasal dari kawasan pantai timur Aceh, sehingga menimbulkan kekhawatiran terkait keadilan pembangunan di wilayah lainnya jika pasangan ini dipaksakan.
Selain itu, penolakan terhadap Dekfad juga muncul dari kalangan internal DPRA dari PA. Menurut Irman, DPRA memahami betul risiko yang dihadapi jika Dekfad tetap dipaksakan menjadi pendamping Mualem.
“Dekfad gagal terpilih kembali ke DPR RI pada Pemilu lalu. Ini menunjukkan bahwa popularitasnya sedang menurun, bahkan bisa mengurangi perolehan suara Mualem,” tegasnya.
Irman menambahkan, Mualem berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, ada tekanan dari Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memilih wakil dari Gerindra. Di sisi lain, penolakan kuat dari berbagai lapisan masyarakat bisa merugikan peluangnya untuk terpilih kembali.
“Jika salah memilih cawagub, itu bisa menjadi faktor kuat yang menyebabkan kekalahannya, seperti yang terjadi pada Pilkada 2017,” kata Irman.
Menurutnya, Mualem masih memiliki opsi ideal yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan masyarakat sipil, perwakilan wilayah, dan dayah, tanpa meninggalkan Gerindra.
“Sosok ideal itu adalah politisi Gerindra, Dr. Safaruddin S.Sos., M.SP.,” ungkap Irman.
Safaruddin, yang dikenal proaktif dan representatif, diyakini mampu menjawab kekhawatiran Mualem terkait dukungan pusat.
“Sebagai kader loyal Gerindra, Safaruddin akan lebih layak dianggap representatif dari masyarakat Barat Selatan dan Tengah Tenggara, menjawab keraguan sekitar 1,5 juta pemilih di wilayah itu,” jelasnya.
Irman juga menyoroti bahwa Safaruddin, yang dikenal dekat dengan ulama dan aktif dalam pembangunan dayah, akan lebih mudah diterima oleh kalangan dayah.
“Safaruddin adalah qori yang disenangi kalangan dayah dan baru-baru ini mendapatkan dukungan dari 34 ulama di Aceh Barat Daya untuk memimpin daerah tersebut,” tambahnya.
Safaruddin, yang berasal dari kalangan sipil dan mantan aktivis mahasiswa, dinilai lebih mumpuni secara akademis dan bisa mewakili kalangan milenial.
“Pasangan Mualem-Safaruddin jauh lebih serasi dan ideal, mencerminkan perwakilan eks kombatan dan kalangan sipil,” papar Irman.
Dengan popularitasnya yang sedang meningkat, sebagaimana dibuktikan oleh perolehan suara tertinggi di DPRA Dapil 9 pada Pemilu 2024, Safaruddin dianggap sebagai jalan tengah paling ideal bagi Mualem.
“Mualem sebaiknya mempertimbangkan istikhorah politik demi kebaikan Aceh,” tutup Irman.