Tuntut Pelunasan Harga Tanah, Warga Pemilik Lahan PLTA Peusangan Dikriminalisasi PT. PLN Persero
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat mengatakan, PT. PLN Persero mulai melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut pelunasan harga tanah mereka yang digunakan dalam pembangunan PLTA Peusangan. [Foto: Net]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan menargetkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Peusangan di Aceh Tengah, Aceh, beroperasi pada akhir tahun ini. Pembangkit berkapasitas 88 megawatt (MW) tersebut merupakan PLTA pertama yang dibangun di Serambi Mekah.
Namun, seiring dengan pembangunan PLTA tersebut ternyata menuai masalah yang rumit dengan masyarakat setempat.
Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat mengatakan, PT. PLN Persero mulai melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut pelunasan harga tanah mereka yang digunakan dalam pembangunan PLTA Peusangan.
“Karena tidak ada kejelasan mengenai pembayaran tanahnya yang kurang bayar, sebanyak 132 orang masyarakat dari 5 Desa; Desa Sanehen, Wih Sagi Indah, Lenga, Wih Bakong, dan Wih Pesam, akhirnya melakukan protes. Masyarakat tidak mengizinkan PT. PLN untuk melanjutkan pembangunan di atas lahan mereka sampai seluruh harga tanah dibayar lunas,” ungkap Qodrat dalam keterangan tertulis kepada Dialeksis.com, Rabu (5/6/2024).
Buntutnya, kata Qodrat, pada tanggal 24 April 2024, manager PLN UPP Sumbagut 2, Nove Ardianto, melaporkan dua orang masyarakat pemilik lahan ke Polres Aceh Tengah atas dugaan tindak pidana pengancaman dan/atau kejahatan terhadap kekuasan umum.
Selanjutnya, tanggal 4 Juni 2024, salah seorang pekerja PLTA Peusangan kembali melaporkan tiga orang masyarakat pemilik lahan ke Polres Aceh Tengah atas dugaan tindak pidana penganiayaan. Kejadian ini berawal saat masyarakat pemilik lahan melarang pekerja PLTA Peusangan untuk melewati jalan Senehen Burlah.
“Larangan untuk tidak menggunakan jalan Senehen Burlah untuk lalu-lalang kendaraan proyek PLTA Peusangan sebenarnya didasarkan atas kesepakatan bersama masyarakat dan perangkat desa. Mengingat jalan tersebut terlalu sempit untuk dilalui oleh kendaraan pengangkut material proyek PLTA, sehingga dikhawatirkan akan menganggu aktivitas masyarakat serta membahayakan anak-anak sekolah,” jelasnya lagi.
YLBHI-LBH Banda Aceh sebagai pendamping hukum masyarakat mengutuk keras upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak PT. PLN Persero terhadap masyarakat.
“Kami melihat dua kejadian tersebut tidaklah murni sebagai tindakan kriminal sebagaimana dilaporkan oleh manager PLN UPP Sumbagut 2 dan pekerja PLTA Peusangan, tetapi lebih kepada upaya kriminalisasi terhadap masyarakat pemiliki lahan yang menuntut pelunasan harga tanah. Terlebih lagi dalam kasus kedua, orang yang harusnya ditangkap polisi adalah Andri, bukan masyarakat yang melerai dan membela diri. Sebab Andri yang lebih dahulu melakukan pengancaman terhadap masyarakat dengan menggunakan sebilah pisau,” ungkapnya.
YLBHI-LBH Banda Aceh menilai, akar dari semua masalah ini adalah ketidakbecusan pemerintah dalam menangani sengketa pengadaan lahan PLTA Peusangan yang berlarut-larut.
“Oleh karena itu, kami mendesak PLN dan pemerintah melalui instansi terkait untuk segera menyelesaikan sengketa pengadaan tanah PLTA Peusangan secara tuntas,” tuturnya.
LBH juga menuntut pihak Polres Aceh Tengah untuk melihat upaya kriminalisasi yang dilakukan PT. PLN Persero secara objektif.
“Jangan sampai Polres Aceh Tengah merespon laporan pihak PT. PLN Persero yang tidak masuk akal secara sigap, tapi tidak pernah mengusut tindakan kriminal yang dilakukan pihak PT. PLN Persero terhadap masyarakat pemilik lahan,” pungkasnya. [nr]