DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tamiang, Rita Afrianti.
Ia terbukti menerima sejumlah uang dari calon legislatif (caleg) untuk menambah perolehan suara pada Pemilu 2024.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 20-PKE-DKPP/I/2025 di Jakarta, Senin (16/6/2025).
Perkara ini diadukan oleh Muhammad Usman yang memberikan kuasa kepada Aliyandi dan Sarwo Edi. Pengadu mengadukan Ketua KIP Kabupaten Aceh Tamiang, Rita Afrianti.
“Satu, mengabulkan pengaduan pengadu untuk seluruhnya. Dua, menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Rita Afrianti selaku Ketua merangkap anggota KIP Kabupaten Aceh Tamiang terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua Majelis DKPP, Heddy Lugito.
Dalam putusannya, DKPP juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan sanksi tersebut paling lambat tujuh hari setelah putusan dibacakan. Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta untuk mengawasi pelaksanaannya.
DKPP menilai Rita terbukti secara meyakinkan melanggar kode etik dengan menerima sejumlah uang dari caleg Muhammad Usman--melalui perantara bernama Herianza Pasaribu. Uang tersebut diberikan sebagai imbalan untuk menaikkan suara Usman agar terpilih menjadi anggota DPRK Aceh Tamiang.
“Benar tidak terdapat bukti pemberian uang secara langsung kepada teradu. Namun terdapat bukti kuat adanya penyerahan uang melalui perantara yang dipercayakan oleh teradu, disertai dengan tanda terima berupa kwitansi yang ditandatangani oleh pengadu dan Herianza Pasaribu,” ujar anggota majelis DKPP, Ratna Dewi Pettalolo.
Menurut DKPP, tindakan menjanjikan peningkatan suara kepada caleg dengan imbalan uang adalah pelanggaran serius terhadap hukum dan etika penyelenggara pemilu. Hal ini dianggap telah mencoreng nama baik lembaga KIP Aceh Tamiang.
“Seharusnya, sebagai ketua KIP, teradu menjaga kehormatan lembaga dan menjadi teladan bagi anggota lainnya. Bukan justru melakukan tindakan yang melanggar etika dan hukum,” lanjut Ratna Dewi.
DKPP menyatakan bahwa tindakan tersebut termasuk pelanggaran berat terhadap Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Perilaku Penyelenggara Pemilu. [nr]