Syiah Kuala Islamic Center: Ambisi Besar, atau Impian yang Berani Diperjuangkan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Risman A Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan dikenal juga Rektor Universitas Bak Asan (UBA). Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilihan gubernur Aceh, sebuah gagasan ambisius muncul dari kubu nomor urut 2. Fadlullah, atau yang akrab disapa Dek Fadh, memperkenalkan konsep Syiah Kuala Islamic Center (SKIC) yang diklaim akan menjadi pusat manasik haji terbesar se-Asia Tenggara.
Politisi muda kelahiran Pidie, 15 Juni 1981 ini, dengan penuh semangat memaparkan visinya tentang SKIC. Bukan sekadar pusat manasik haji, Dek Fadh membayangkan SKIC sebagai kompleks multifungsi yang akan mengintegrasikan aspek syiar Islam dengan pariwisata.
"SKIC akan terhubung dengan Masjid Raya Baiturrahman melalui feri yang berlabuh di Sungai Krueng Aceh," ujar mantan kombatan ini, menggambarkan sebuah pemandangan yang seolah diambil dari kisah 1001 malam.
Namun, di balik gemerlap visi tersebut, sejumlah pertanyaan kritis mencuat. Risman A Rachman, pemerhati politik dan pemerintahan yang dikenal sebagai Rektor Universitas Bak Asan (UBA), dalam unggahan di laman Facebook pribadinya, menyebut gagasan ini jika tidak diperkaya substansinya bisa menjadi "solusi cet langet" atau sekadar angan-angan, mimpi belaka.
"Di Aceh, banyak proyek bangunan besar yang akhirnya tidak fungsional karena masalah tidak cukup anggaran dan ketiadaan anggaran perawatan," tulis Risman.
Ia mengingatkan nasib beberapa proyek serupa yang kini terbengkalai, menjadi monumen ketidakberdayaan birokrasi.
Meski demikian, Risman tidak sepenuhnya menolak ide SKIC. Ia justru mendorong agar konsepnya diperluas.
“Jangan hanya fungsi manasik haji. Harus ada pusat studi manuskrip dan museum arkeologi Islam," sarannya.
Ia juga menekankan pentingnya menghubungkan SKIC dengan institusi pendidikan seperti UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala, serta situs-situs bersejarah di Aceh.
Gagasan SKIC bukan tanpa preseden. Jakarta Islamic Center di Kramat Tunggak dan Islamic Center Lombok telah lebih dulu menunjukkan bagaimana konsep serupa dapat diimplementasikan.
Bahkan, baru-baru ini Uni Emirat Arab berencana mendirikan Islamic Center bekerja sama dengan UIN Ar-Raniry.
Tantangan terbesar, tentu saja, adalah pendanaan. Risman menyarankan agar proyek ini tidak membebani APBA.
“Lobi agar dari APBN atau dari bantuan asing," usulnya.
Ia bahkan menantang Dek Fadh untuk memanfaatkan koneksi politiknya. "Yuk, kita tantang Dek Fadh sebagai kader Gerindra. Berani ndak?"
Terlepas dari pro dan kontra, satu hal yang pasti: SKIC bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah cermin ambisi Aceh untuk kembali ke masa kejayaannya sebagai pusat peradaban Islam di Nusantara.
Apakah ambisi yang kini jadi impian ini akan terwujud atau sekadar menjadi fatamorgana politik, hanya waktu yang akan menjawab. []