DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh yang tengah menyidik kasus dugaan korupsi dana beasiswa Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh periode 2021-2024, dengan nilai fantastis mencapai Rp420 miliar.
Koordinator MaTA, Alfian, menilai pengungkapan kasus ini menjadi momentum besar bagi penegakan hukum di Aceh untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Menurutnya, besarnya nilai anggaran dan luasnya jangkauan program beasiswa menjadikan kasus ini sangat strategis untuk dibongkar secara menyeluruh.
"Kita mendukung langkah Kejati dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi menyangkut beasiswa di 2021“2024. Karena anggarannya juga sangat besar, sampai Rp420 miliar. Pengungkapan ini akan memberi pesan kuat terhadap penegakan hukum di Aceh,” ujar Alfian kepada media dialeksis.com, Rabu (29/10/2025).
Alfian mengingatkan, publik masih menyimpan kekecewaan terhadap penanganan kasus serupa pada periode 2017-2019 yang kala itu ditangani oleh Polda Aceh dan hingga kini belum tuntas.
Karena itu, menurutnya, kinerja Kejati Aceh dalam kasus baru ini akan menjadi tolok ukur baru bagi komitmen lembaga hukum di Aceh terhadap pemberantasan korupsi.
“Publik akan menilai, apakah kasus ini akan bernasib sama dengan pola penanganan sebelumnya yang tidak pernah selesai. Ini menjadi pertaruhan besar bagi kredibilitas penegakan hukum di Aceh,” tegasnya.
Menurut Alfian, modus korupsi dalam program beasiswa sangat mungkin mirip dengan pola-pola penyimpangan di sektor lain yang kerap ditemukan di Aceh. Ia menyebutkan ada indikasi praktik markup, pemotongan, hingga intervensi dalam proses rekrutmen penerima beasiswa.
"Kita menemukan potensi penyalahgunaan kewenangan, misalnya dalam proses seleksi penerima. Ada dugaan beasiswa diberikan kepada anak pejabat atau orang-orang yang memiliki kedekatan politik, bukan kepada mahasiswa yang benar-benar berhak,” ungkapnya.
Selain itu, Alfian juga menyoroti adanya praktik penggunaan nama mahasiswa secara fiktif, pemotongan dana, hingga permintaan setoran sebagai syarat pencairan beasiswa.
“Modusnya beragam. Ada yang menggunakan kewenangan jabatan, ada juga yang meminta potongan dana dengan berbagai dalih. Ini sudah menjadi pola umum dalam tindak pidana korupsi di sektor pendidikan,” jelasnya.
Alfian mendesak Kejati Aceh agar segera mengumumkan nama-nama tersangka dalam kasus ini jika proses penyidikan telah menemukan dua alat bukti yang cukup.
“Kalau penyidikan sudah jalan, berarti sudah ada calon tersangka. Kita berharap Kejati segera umumkan dan lakukan penahanan. Karena publik menunggu keseriusan lembaga ini,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya pengungkapan kasus hingga ke aktor intelektual di balik skandal dana beasiswa tersebut, bukan hanya pelaku di level operasional.
"Jangan lagi yang dijerat hanya operator lapangan. Kita ingin Kejati mengungkap seluruh jaringan, termasuk pihak-pihak yang menikmati hasil korupsi. Ini uang rakyat yang nilainya sangat besar,” kata Alfian.
Lebih jauh, MATA juga mendorong Kejati Aceh untuk menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melacak aliran dana beasiswa yang diduga dikorupsi.
“Kita tahu uangnya besar. Kalau memang ada kesulitan menelusuri, Kejati bisa berkoordinasi dengan PPATK agar aliran dana bisa ditelusuri secara utuh. Dengan begitu, penegakan hukum bisa menyentuh semua pihak yang terlibat,” tegas Alfian.
Ia memperingatkan bahwa jika kasus sebesar ini tidak dituntaskan, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan tata kelola keuangan publik di Aceh.
“Kalau kasus sebesar ini tidak selesai, orang-orang yang punya jabatan akan merasa bisa menggunakan kekuasaan untuk mengkorupsi dana publik tanpa konsekuensi hukum. Itu berbahaya. Kia percaya Kejati sudah punya alat bukti yang cukup dan memahami pola kasus ini. MATA dan publik Aceh akan terus mengawasi. Jangan sampai kasus ini dimainkan atau diseret ke ranah politik. Penegakan hukum harus berdiri di atas keadilan,” pungkas Alfian.