Refleksi Pemilu Aceh 2024, Politik Troll Ancam Demokrasi Digital di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Ramzi Murziqin, SHI, MA, akademisi sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry.[ Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ramzi Murziqin, SHI, MA, akademisi sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry, menyoroti berbagai masalah krusial yang menjadi refleksi penting bagi masyarakat Aceh.
"Pemilu 2024 telah membawa berbagai tantangan dan dinamika baru dalam praktik politik di Aceh. Dari politik troll di media sosial hingga dugaan politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, kondisi ini memicu kekhawatiran atas masa depan demokrasi di wilayah tersebut," ujarnya kepada Dialeksis.com, Selasa (10/12/2024).
Ramzi menjelaskan bahwa fenomena politik troll semakin masif dalam Pemilu 2024. Politik Troll memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebarkan narasi provokatif dengan kecepatan tinggi.
"Mereka cenderung menggunakan huruf besar (CAPS LOCK), tanda seru berlebihan, dan gambar emosional dalam komentarnya. Tujuannya bukan hanya memengaruhi opini publik, tetapi juga menciptakan polarisasi yang tajam,” ungkapnya.
Ramzi menegaskan bahwa anonimitas yang ditawarkan oleh media sosial memberikan ruang bagi perilaku troll untuk berkembang tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Akibatnya, demokrasi digital menjadi rentan terhadap manipulasi, khususnya melalui penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam berbasis SARA.
Fenomena politik pork barrel juga menjadi sorotan dalam Pemilu 2024. Ramzi menyebutkan, petahana sering memanfaatkan program pemerintah dan anggaran publik untuk mendukung kandidat tertentu, meskipun mereka sendiri tidak mencalonkan diri kembali.
"Ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak hanya melemahkan netralitas aparatur negara, tetapi juga menciptakan ketergantungan politik di masyarakat," jelasnya.
Pork barrel menjadi alat yang efektif untuk mempertahankan jaringan kekuasaan jangka panjang, terutama di wilayah pedesaan yang memiliki akses terbatas terhadap informasi independen.
Hal ini diperburuk dengan laporan dugaan keterlibatan kepala desa (keuchiek) dalam politik praktis, yang meningkat hingga 20 persen dibandingkan Pemilu 2019.
Ramzi juga menyoroti praktik abusive executive power dalam Pemilu 2024. Ia menilai, ketidakjelasan batasan hukum terkait keterlibatan presiden dan pejabat negara lainnya dalam kampanye membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan.
"Reformulasi regulasi Pemilu yang berorientasi pada prinsip-prinsip good governance sangat diperlukan untuk mencegah kemunduran demokrasi," tambahnya.
Ia mencontohkan, perubahan aturan yang terlalu fleksibel seringkali digunakan untuk memperkuat posisi petahana dan partai politik penguasa, yang pada akhirnya merugikan kandidat independen dan partai oposisi.
Berbagai bentuk pelanggaran Pemilu juga meningkat di Aceh. Data menunjukkan bahwa kasus pengrusakan alat peraga kampanye (APK) mencapai 618 insiden, sementara praktik politik uang dilaporkan semakin meluas dengan nominal yang meningkat dibandingkan Pemilu sebelumnya.
Selain itu, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan perangkat desa kembali dipertanyakan. Ramzi menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap ASN untuk menjaga keadilan dalam proses demokrasi.
"Kampanye hitam yang melibatkan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian berbasis SARA bukan hanya merusak reputasi kandidat, tetapi juga membahayakan kohesi sosial di masyarakat," pungkasnya. [nh]