Refleksi 20 Tahun Tsunami Aceh, Kepala TDMRC USK: Gempa Besar Mengingatkan Kita untuk Tidak Lengah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Podcast Lentera Umat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan tema Refleksi Seperlima Abad Peristiwa Gempa & Tsunami Di Nanggroe Syariat. Tangkapan layar oleh media dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua puluh tahun berlalu sejak peristiwa gempa dan tsunami melanda Aceh, sebuah bencana yang merenggut lebih dari 230 ribu jiwa dan menghancurkan infrastruktur hingga ke titik nol.
Dalam refleksi mendalam dilansir media dialeksis.com, Kamis, 26 Desember 2024, yang disiarkan melalui Podcast Lentera Umat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Kepala Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Muksin, S.Si., M.Si., M.Phil., memberikan pandangan mengenai penyebab, dampak, dan strategi mitigasi di masa depan.
Ia mengingatkan bahwa gempa besar dan tsunami sebagai sarana masyarakat Aceh untuk tidak Lengah terhadap bencana.
“Pada hari itu, Aceh mengalami salah satu gempa terdahsyat dalam sejarah modern, dengan magnitudo 9,1-9,3 SR. Episentrum gempa berada di Samudera Hindia, sekitar 250 km dari pesisir barat Aceh, memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter yang menyapu daratan dalam hitungan menit,” ujar Prof. Muksin.
Ia mengenang bagaimana suasana Banda Aceh porak-poranda seketika, dengan duka menyelimuti seluruh wilayah.
“Sebagai akademisi, kami berada di tengah masyarakat yang hancur. Namun, tanggung jawab besar ada pada kami untuk mempelajari peristiwa ini agar generasi mendatang dapat lebih siap menghadapi risiko serupa,” tambahnya.
Mengenai penyebab gempa, Prof. Muksin menepis berbagai mitos, termasuk spekulasi bahwa bencana ini diakibatkan oleh ledakan nuklir.
“Gempa ini murni fenomena tektonik, di mana zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia menjadi sumber utama. Lempeng yang bergerak terus-menerus akhirnya terkunci selama puluhan tahun sebelum akhirnya energi besar dilepaskan pada 26 Desember 2004,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya gempa-gempa kecil sebagai "ventilasi energi" alamiah. “Jika zona ini terlalu lama tanpa aktivitas gempa, itu justru tanda bahaya. Energi yang terkunci lama akan dilepaskan dalam bentuk gempa besar, seperti yang kita saksikan 20 tahun lalu," ujarnya.
Bencana ini tidak hanya mengguncang Aceh, tetapi juga memicu tsunami yang melanda 14 negara lain di sekitar Samudera Hindia.
"Tsunami Aceh menjadi peringatan global akan pentingnya sistem peringatan dini. Sebelum 2004, wilayah ini tidak memiliki sistem yang memadai. Kini, langkah mitigasi telah berkembang pesat," tambah Prof. Muksin.
Prof. Muksin juga menyoroti peran penting mitigasi bencana. Menurutnya, Aceh kini menjadi model dalam membangun kembali kota dengan konsep mitigasi.
"Dari zona hijau di pesisir hingga pelatihan kesiapsiagaan masyarakat, langkah-langkah ini menjadi pijakan untuk masa depan,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya pendidikan bencana di sekolah, latihan evakuasi rutin, dan infrastruktur tahan gempa.
“Kita tidak bisa menghentikan gempa, tetapi kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapinya,” katanya.
Ia berharap bahwa refleksi 20 tahun bencana tsunami Aceh bukan hanya tentang mengenang, tetapi juga memetakan langkah masa depan.
"Aceh telah bangkit, tetapi perjuangan kita belum selesai. Generasi berikutnya harus lebih siap, lebih tangguh, dan lebih berdaya menghadapi tantangan bencana,” tutup Prof. Muksin.