DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menggelar webinar bertajuk Legitimasi Demokrasi Lokal Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menghadirkan sejumlah narasumber penting, termasuk akademisi dan praktisi pemilu, untuk membedah dampak dan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap masa depan demokrasi lokal di Aceh.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur tentang pemisahan jadwal pelaksanaan Pemilu nasional dan Pilkada serentak menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini.
Dalam forum daring yang diselenggarakan KIP Aceh, Kamis (17/7/2025). para pembicara menilai putusan tersebut justru memberikan ruang tata kelola yang lebih sehat dan efisien bagi demokrasi lokal.
Aryos Nivada, pengamat politik dari LSM Jaringan Survei Inisiatif, menyebut bahwa secara filosofis, putusan ini membawa nilai positif bagi penguatan demokrasi, terutama dalam konteks lokal seperti Aceh.
“Putusan ini tidak merugikan siapa pun, justru memperbaiki tata kelola kepemiluan kita. Dulu, ketika pemilu dan pilkada disatukan, jadwalnya sangat rumit. Putusan MK 135 justru menata proses penjadwalannya dengan lebih rasional,” ujar Aryos yang dilansir media dialeksis.com.
Ia menambahkan, alasan efisiensi anggaran yang selama ini menjadi justifikasi penyatuan pemilu dan pilkada, ternyata tidak terbukti membawa dampak signifikan.
“Faktanya, anggaran pemilu tetap sangat besar, dan kerumitannya justru bertambah. Penyelenggara kehilangan fokus, karena harus mengurus dua level pemilihan secara bersamaan. Akibatnya, kualitas demokrasi menurun,” tegasnya.
Salah satu kekhawatiran besar yang disorot Aryos adalah hilangnya ruang bagi isu-isu lokal ketika pelaksanaan Pemilu dan Pilkada digabungkan.
“Dalam praktiknya, isu lokal tenggelam. Seluruh perhatian publik tersedot ke isu nasional, terutama pemilihan presiden. Padahal, masyarakat di daerah sangat membutuhkan perbincangan soal kualitas calon pemimpin lokal mereka,” jelas Aryos.
Ia mencontohkan bagaimana pada Pemilu 2019 lalu, sorotan publik di Aceh lebih banyak tertuju pada isu-isu nasional, sementara dinamika lokal termasuk soal pendidikan, kesehatan, dan tata kelola daerah nyaris tak terdengar.
“Isu kelokalan itu justru yang paling diinginkan rakyat. Mereka ingin tahu siapa calon bupatinya, bagaimana rekam jejaknya, dan apa visi-misinya,” tambahnya.
Namun Aryos tak menutup mata terhadap tantangan yang akan dihadapi partai politik. Ia menyebut adanya dua kali kerja yang harus dilakukan parpol yakni untuk Pemilu nasional dan Pilkada secara terpisah akan menjadi beban tersendiri.
“Ya, partai pasti akan merasa terbebani. Tapi ini justru jadi ujian nyata bagi mereka. Mampukah mereka hadir secara konkret di tengah masyarakat, bukan hanya saat kampanye nasional,” ucap Aryos.
Dari sisi pemilih, ia menggarisbawahi bahwa pemisahan ini bisa mengembalikan esensi demokrasi: rakyat menentukan wakilnya secara sadar, bukan sekadar ikut arus.
“Apalagi, stabilitas keamanan juga lebih bisa dikontrol jika pemilu dan pilkada dipisah. Pengalaman sebelumnya, keamanan sulit dijaga karena eskalasi tinggi akibat pemusatan pemilihan dalam satu waktu,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Ahmad Mirza Safwandy, S.H., M.H., menjelaskan bahwa putusan MK ini tidak akan mengganggu keberadaan dan kedudukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Tidak ada yang berubah secara prinsip dalam UUPA. Selama tidak diatur khusus di UUPA, maka aturan akan merujuk ke Undang-Undang Kepemiluan nasional. Jadi tidak benar kalau ada yang bilang lex specialis UUPA akan dicabut,” ujar Mirza.
Menurutnya, justru ini menjadi momentum untuk melakukan sinkronisasi antara aturan nasional dan lokal.
“Ada hal menarik dari proses ini: secara esensi, akan ada ruang eksperimen demokrasi non-linier yang bisa dipraktikkan terus-menerus di Aceh,” tambahnya.
Ia juga menyinggung pasal 81 huruf S dalam UUPA yang secara tegas menyebutkan adanya pemisahan antara pemilihan lokal dan nasional.
“Pasal itu jelas menyebutkan bahwa partai politik lokal wajib menyukseskan pemilu tingkat daerah dan nasional. Jadi sejak awal, UUPA sudah memiliki diksi pemisahan tersebut,” tegasnya. [nh]